JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 40/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pada Kamis (21/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon menyatakan, norma dalam UU Sisdiknas belum menjamin hak-hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan makan yang bergizi.
“Kami menilai bahwa UU Sisdiknas belum menjamin hak-hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan makan dan gizi yang bergizi, Yang Mulia. Pasal 3 UU Sisdiknas hanya mengatur tentang tujuan pendidikan nasional, tanpa mengatur secara spesifik tentang bagaimana pemerintah menjamin hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan makanan yang bergizi,” ujar salah satu Pemohon, I Dewa Made Agung Kertha Nugraha di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsi dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Para Pemohon menuturkan, Pasal 3 UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang secara sehat dan terlindungi dari pengaruh buruk. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan atas pemenuhan hak anak-anaknya untuk mendapatkan makanan yang bergizi atas berlakunya Pasal 3 UU Sisdiknas.
Nugraha menjelaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sementara, para Pemohon menilai, pasal a quo hanya mengatur tentang tujuan pendidikan nasional, tanpa mengatur secara spesifik tentang bagaimana Pemerintah menjamin hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan makanan yang bergizi. Meskipun UU Sisdiknas mencakup tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang sehat, tetapi tidak ada penjelasan rinci tentang bagaimana kesehatan ini akan dicapai, khususnya dalam konteks nutrisi.
Para Pemohon terdiri dari pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Food Security Review I Dewa Made Agung Kertha Nugraha, Forum OSIS yang diwakili Winda Purnama Ningsih, Masyarakat Aliansi Kesejahteraan Siswa-Siswi Indonesia yang diwakili Galvien Krisna, serta perorangan Alfatehan Septianta dan Rifaldo Deska Putra. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Pasal 3 UU Sisdiknas diubah menjadi pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Serta meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global dan memberikan makanan dan gizi yang sehat dan bergizi bagi setiap anak sekolah, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta setiap harinya di seluruh Indonesia.
Permohonan Dibuat dengan AI
Saat sesi pemberian nasihat oleh Majelis Hakim, terungkap bahwa permohonan perkara ini dibuat dengan Artificial Intelligence (AI). Hal ini bermula ketika Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menoleransi kekurangan dari permohonan ini karena baru pertama kalinya para Pemohon bersidang di MK. Kemudian Guntur menyinggung soal sistematika penulisan permohonan yang belum sesuai dengan ketentuan.
“Kemudian yang kedua. Dari segi sistematika, sebetulnya sih sudah seperti yang sudah ada karena ini sudah mencontoh. Mencontoh di mana ini? Ada contoh pernah dilihat?” tanya Guntur dan I Dewa menjawab belum ada. Guntur lalu mengonfirmasi dengan melontarkan kalimat, “belum ada?”. I Dewa pun menjawab, “kita pakai Ai.”
Guntur lalu menemukan kekeliruan kutipan pasal dalam UUD 1945 yang ditulis para Pemohon dalam permohonan. “Inilah kekeliruannya AI juga ini mencantumkan kutipan Pasal 28B ayat (2) yang Saudara maksudkan itu, itu keliru. Tidak seperti yang, makanya kalau ini harus di-recheck, check and recheck ke Pasal 28B ayat (2). Jangan terlalu percaya juga serta merta begitu, tetap menggunakan AI, tapi harus kembali dicek lagi. Cek lagi supaya bisa memastikan itu apa yang disampaikan oleh AI itu sudah tepat atau tidak,” tutur Guntur.
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan apakah permohonan ini ada hubungannya dengan program makan siang gratis atau tidak. “Sebelum saya menyampaikan penasihatan, ini permohonan ini ada hubungannya dengan program makan siang gratis apa enggak ini?” tanya Arsul.
Selain itu, Arsul juga menyarankan para Pemohon untuk mempertimbangkan kembali apakah dalil-dalil permohonan mengenai pemenuhan hak anak mendapatkan makanan bergizi sudah tepat atau tidak dihubungkan dengan UU Sisdiknas, bukan UU Pangan. Hal yang sama juga disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, isu pemenuhan hak anak mendapatkan makanan bergizi tidak pas ada di UU Sisdiknas.
“Ini memang dapat dikatakan objek yang diuji itu sebetulnya memang isunya itu tidak pas. Ini undang-undangnya bukan Undang-Undang Sisdiknas jangan-jangan yang diuji. Yaitu, persoalannya kalau kemudian nanti yang diperbaiki tetap di sini, tetapi kemudian perbaikannya masih merujuk kepada soal gizi, ya, nanti memang kabur jadinya,” kata Enny.
Namun dia mengingatkan, Pemohon tidak dapat mengganti objek atau undang-undang yang diuji dengan undang-undang lain dalam perkara nomor yang sama. Apabila Pemohon ingin mengubah objek permohonan, maka Pemohon harus mengajukan permohonan baru dengan mencabut permohonan a quo terlebih dahulu.
“Kalau kemudian mau diganti, nah, itu nanti Saudara harus baca terlebih dahulu karena sebagai pemula, yaitu PMK Nomor 2 Tahun 2021, harus dibaca ya, enggak bisa pakai AI kalau baca itu karena enggak ada rasa yang ikut serta di situ, rasanya itu enggak ada sense-nya, gitu lho. Jadi kaku, kakunya juga enggak dapat, gitu ya, enggak nyambung. Kalau Saudara bongkar, ganti undang-undang, enggak boleh,” jelas Enny.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengingatkan, Pemohon diberikan waktu sampai 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan dan paling lambat diterima MK pada Rabu, 3 April 2024 pukul 09.00 WIB. Perbaikan permohonan dapat dilakukan tanpa mengganti objek permohonan. Apabila ingin mengganti undang-undang yang diuji, maka Pemohon harus menarik terlebih dahulu permohonan ini dan mengajukan permohonan baru.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan