JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Mohammad Riyadi Setyarto yang berprofesi sebagai Wiraswasta terkait dengan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945. Sidang pengucapan Putusan Nomor 20/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Rabu (20/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menyatakan jangka waktu daluwarsa pada dasarnya sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak melampaui wewenang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945. Namun demikian, oleh karena jangka waktu daluwarsa masa penuntutan pidana juga melekat hak konstitusional yang merupakan hak fundamental dari korban dan/atau keluarga korban dari pelaku tindak pidana yang juga harus diberikan perlindungan hukum atas kerugian yang dialaminya, oleh karena itu di dalam menentukan masa tenggang waktu daluwarsa dimaksud jika akan dilakukan perubahan maka harus juga mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana.
Menurut Mahkamah dalam mempertimbangkan inkonstitusionalitas norma Pasal 79 KUHP tidak dapat dipisahkan dari pasal lain yang juga mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana sebagaimana diatur dalam Bab VIII KUHP. Oleh karenanya, terlepas dari kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, menurut Mahkamah justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan apabila norma pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat seperti apa yang diinginkan oleh Pemohon.
Lebih lanjut, sambung Daniel, tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tanpa diberlakukan masa kadaluwarsa penuntutan, di samping dapat berakibat timbulnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, juga akan mempersulit proses penanganan atas perkara yang bersangkutan, disebabkan karena antara peristiwa tindak pidana yang terjadi telah melampaui tenggat waktu yang lama dengan proses penuntutan bagi pelaku. Sebab, dalam kurun waktu yang lama dan tanpa batas waktu daluwarsa sangat dimungkinkan telah terjadi penggantian aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik). Hal ini berdampak adanya kajian dan penilaian atas hasil penyelidikan dan penyidikan suatu perkara harus dimulai dari awal oleh penyidik baru dengan mendasarkan alat bukti yang dimungkinkan sudah tidak valid lagi. Terlebih, secara konkret/faktual tidak validnya alat bukti suatu tindak pidana yang disebabkan karena penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan telah berlangsung lama dari peristiwa pidananya dapat berupa barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidananya telah rusak, para saksi telah lupa mengingat peristiwa yang dilihat, dialami dan dirasakan, karena faktor usia atau adanya gangguan kesehatan lainnya atau bahkan ada saksi yang sudah meninggal dunia.
“Hal penting yang harus ditekankan oleh Mahkamah terkait dengan konstitusionalitas norma Pasal a quo adalah bahwa pembatasan tersebut semata-mata untuk menjamin kepastian hukum dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Selain itu, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil Pemohon apabila mengaitkan antara pembatasan tenggang waktu daluwarsa dengan adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia, menurut Mahkamah pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tidak bersifat mutlak akan tetapi pembatasan tertentu dapat dibenarkan sepanjang sejalan dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 28J ayat (2) yang menentukan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis,” ujar Daniel.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat, tidak terdapat permasalahan konstitusionalitas norma dalam Pasal 79 KUHP sepanjang frasa "Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:", sehingga dengan demikian dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 79 KUHP tidak menimbulkan persoalan terkait dengan hak untuk hidup dan mempertahankan hidup serta hak perlindungan diri pribadi dan keluarga dari ancaman ketakutan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Oleh karena itu, dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Daniel.
Baca juga:
Tenggang Kedaluwarsa Tindak Pidana Diuji
Pemohon Perbaiki Uji Masa Kedaluwarsa Tindak Pidana
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 20/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Mohammad Riyadi Setyarto yang berprofesi sebagai Wiraswasta. Pemohon mengujikan Pasal 79 KUHP yang berbunyi, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:“
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (20/2/2024), Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa menyampaikan bahwa ia merupakan anak dari korban tindak pidana pencurian surat dokumen berharga milik Alm. Ayahnya A DM. Pencurian ini dilakukan oleh Dd Sghrt dan Hndr Spry pada Februari 1999. Saat itu, kondisi ayah Pemohon sedang dalam keadaan sakit sehingga tidak sadar bahwa dokumen tersebut dicuri.
Menurut Pemohon, dokumen tersebut berupa dokumen keuangan yang bernilai jutaan Poundsterling. Tindak pidana ini terungkap setelah adanya informasi dari pihak perbankan di luar negeri bahwa dokumen-dokumen tersebut diuangkan oleh pihak lain sejak 2002 secara bertahap.
Setelah adanya info tersebut, Pemohon melaporkan kepada pihak kepolisian di Madiun sekitar 2019-2020. Namun laporan ditolak karena peristiwa tindak pidana tersebut terjadi pada tahun 1999. Aturan kedaluwarsa ini tercantum dalam KUHP.
Pemohon menjelaskan, untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan mendapatkan perlindungan diri pribadi, harta benda serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan seperti dijamin di pasal 28G (1) UUD 1945, maka Pasal 79 UU Nomor 1 Tahun 1946 perlu diperbaiki dan diubah menjadi “Tenggang kedaluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah perbuatan diketahui oleh pihak korban atau pihak yang dirugikan, kecuali dalam hal-hal berikut:“
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan.