JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) pada Selasa (19/3/2024) Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ini dilaksanakan untuk dua perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023. Adapun agenda siding yaitu mendengarkan keterangan Ahli Presiden/Pemerintah dan Ahli yang dihadirkan oleh Djunatan Prambudi selaku
Pemohon Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023.
Ahmad M. Ramli selaku Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah menyebutkan bahwa pada prinsipnya pendaftaran merek memiliki konsekuensi dengan lahirnya hak eksklusif atas penggunaan merek terdaftar tersebut. Artinya, merek tersebut dapat digunakan secara eksklusif oleh pemiliknya atau dilisensikan kepada pihak lain. Pendaftaran merek ini melahirkan kepastian hukum dan mempertegas kedudukan pemegang hak. Oleh karena itu, secara teoritik hukum, merek menekankan tidak boleh adanya upaya pihak lain mendompleng ketenaran dengan memirip-miripkan ciri produk yang dijual dengan merek terdaftar milik orang lain yang menyebabkan kebingungan konsumen.
“Dengan demikian, pelanggaran merek tidak hanya berupa persamaan, tetapi juga dapat similaritas satu merek dengan merek lainnya. Untuk itulah lahir Pasal 21 ayat (1) UU Merek yang menaungi semua aspek dan kemungkinan adanya persamaan pada pokoknya maupun persamaan pada keseluruhannya. Dan hal ini telah sejalan dengan norma yang berlaku umum sebagai general principle of intellectual property law yang mengatur jenis norma persamaan secara keseluruhannya atau persamaan secara persamaan pada pokoknya,” terang Ramli terhadap permohonan yang diajukan oleh warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta ini.
Batasan Persamaan Merek
Kemudian Suhardi Somomoeljono sebagai Ahli yang dihadirkan Djunatan Prambudi (Pemohon Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023), menyebutkan bahwa pelaksana UU Merek dalam menjalankan kewenangannya sulit untuk menghindari tafsir yang bersifat subjektif. Oleh karenanya, Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya telah menegaskan merek mempunyai kesamaan pada pokoknya maupun secara keseluruhan jika memenuhi kriteria berupa persamaan bentuk; komposisi; kombinasi; unsur elemen; bunyi; ucapan; dan penampilan. Namun dalam pelaksanaannya, putusan tersebut tidak mudah untuk dipraktikkan hingga pada 2016, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 mempertegas batasan suatu merek dapat dikatakan memiliki persamaan apabila memenuhi kriteria, yaitu sifat dari barang dan/atau jasa; tujuan dan metode penggunaan barang; komplementaritas barang dan/atau jasa; kompetisi; saluran distribusi; konsumen yang relevan; dan asal produk barang dan/atau jasa.
“Dengan adanya kriteria tersebut sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari implementasi dari Pasal 21 ayat (1) UU Merek telah mengindikasikan dan menunjukkan adanya tafsir atas pasal tersebut yang masih bersifat terbuka, khususnya bagi MK agar dapat merumuskan dengan pendekatan yang lebih modern, sederhana, dan lebih mudah dipahami masyarakat,” jelas Suhardi.
Baca juga:
Pemerintah Sampaikan Keterangan Ihwal Penghapusan Merek Terdaftar
Menguji Ketentuan Hukum Penghapusan Merek
Pengusaha UMKM Ulas Konvensi Internasional Soal Hak Merek
Arti Merek dalam Konteks Filosofis
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Ricky Thio, Pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam negeri yang memiliki hak merek “HDCVI & LOGO” yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemohon menguji Pasal 74 UU MIG ihwal penghapusan merek terdaftar.
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (15/11/2023), Pemohon yang hadir didampingi kuasanya, James Erikson Tamba mengatakan norma hukum merek yang dimaksudkan untuk melindungi UMKM seharusnya memperhatikan ciri UMKM dalam negeri. Menurut Pemohon, ketentuan hukum Pasal 74 ayat (1) UU MIG tentang penghapusan merek yang tidak digunakan selama tiga tahun dalam perdagangan, sangat merugikan UMKM yang memiliki modal terbatas dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sehingga jika terjadi keadaan yang menyebabkan UMKM tidak dapat bereproduksi, misalnya terjadi Pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan lainnya sehingga hak mereknya tersebut dapat dihapuskan akibat berlakunya ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MIG. Pemohon berkeyakinan Pasal 74 UU MIG bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak berkuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Persamaan Merek dalam UU MIG
Panel Hakim Mengonfirmasi Penyerahan Berkas Perbaikan Uji Persamaan Merek
Pengusaha UMKM Ulas Konvensi Internasional Soal Hak Merek
Arti Merek dalam Konteks Filosofis
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta. Pemohon mengujikan Pasal 21 ayat (1) UU MIG.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (19/12/2023), Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU MIG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak untuk mengajukan gugatan pembatalan merek apabila ada persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan yang dimiliki merek orang lain, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat.
Pemohon pun mengungkapkan kasus konkret, yaitu adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGA.JKT.OST dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Dalam putusan tersebut permohonan gugatan yang dilakukan penggugat ternyata ditolak. Pihak yang bersengketa yaitu PUMA SE sebagai penggugat dan PUMADA sebagai tergugat.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 UU MIG bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” untuk diubah menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.