JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (13/3/2024) dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah resmi menetapkan tarif efektif pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, "Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)".
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Pemohon yang diwakili oleh Annee William Siadari menyampaikan telah melakukan penyempurnaan terkait surat kuasa khusus mengenai tanda tangan kuasa pemberi kuasa telah diperbaiki dan diganti. “Terhadap alat bukti kami juga menambahkan taxpayer pemohon yang meliputi NPWP pemohon, surat setoran pajak dan bukti pembayaran PBJT,” terangnya.
Kemudian, kuasa hukum Pemohon lainnya, Adong menyebut terdapat pada bagian kedudukan hukum. Dalam perbaikan, Pemohon telah menguraikan dasar yang berdasarkan fakta. Sedangkan alasan permohonan, ruang lingkup ketentuan hukum yang diuji masih seperti semula.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pasal a quo inkonstitusional. Pemohon menilai sebelumnya dalam UU HKPD terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40% dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) yang berbunyi “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)” dan Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan