JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang ibu rumah tangga (IRT) bernama Rahmawati Salam yang menjadi Pemohon dalam Perkara Nomor 24/PUU-XXII/2024, memperbaiki permohonannya mengenai pengujian materiil Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Pemohon memperbaiki legal standing atau kedudukan hukum dan posita atau alasan-alasan permohonan. Perbaikan permohonan dibacakan dalam sidang yang digelar pada Rabu (6/3/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Pemohon merupakan Penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Gugatan Pemohon telah diputus kabul seluruhnya oleh PTUN Jakarta sehingga telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, Menteri ATR/BPN akan melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan tersebut.
“Ketentuan Pasal 132 ayat (1) UU PTUN tidak membatasi Badan dan/atau Pejabata Tata Usaha Negara untuk mengajukan PK. Dengan tidak dibatasinya kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat TUN untuk mengajukan PK maka perkara antara Pemohon melawan Menteri ATR/BPN RI akan terus berlanjut,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Erzad Kasshiraghi di hadapan majelis panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Menurut Pemohon, perkara antara Pemohon melawan Menteri ATR/BPN telah selesai sampai di tingkat kasasi dan dapat dilakukan eksekusi karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun Menteri ATR/BPN menunda pelaksanaan eksekusi dengan alasan akan melakukan upaya hukum PK.
Erzad menambahkan, penegakan hukum (law enforcement) pada hakikatnya merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma hukum dan sekaligus nilai-nilai yang ada di belakang norma tersebut. Dengan demikian, para penegak hukum harus memahami benar spirit hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan dan hal ini akan berkaitan dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process).
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Baca juga:
Ibu Rumah Tangga Uji Norma PK dalam UU PTUN
Sebagai informasi, Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menyatakan, “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Pemohon merupakan penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan menteri agraria dan tata ruang/kepala badan pertanahan nasional Republik Indonesia (Menteri ATR/BPN RI). Gugatan Pemohon telah diputus kabul sebagian oleh PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT tanggal 24 Mei 2022.
Kemudian Menteri ATR/BPN mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Sementara PTTUN Jakarta dalam putusannya menguatkan putusan sebelumnya dengan perbaikan amar sehingga menjadi kabul seluruhnya melalui Putusan Nomor 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT tanggal 16 Agustus 2022.
Selanjutnya, Menteri ATR/BPN mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding PTTUN Jakarta. Namun, MA pun dalam Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 tanggal 20 Juni 2023 menolak permohonan kasasi tersebut. Dengan demikian, pada 7 Agustus 2023, Pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri ATR/BPN agar melaksanakan Putusan Kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, Menteri ATR/BPN justru melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas Putusan Kasasi MA. Menurut Pemohon, adanya Pasal 132 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena membuat badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) in casu Menteri ATR/BPN tidak dibatasi untuk mengajukan peninjauan kembali atas Putusan Kasasi yang telah inkracht.
Pemohon mengatakan, Mahkamah harus mempertimbangkan realita hukum saat ini di mana pedoman penanganan perkara oleh badan-badan pemerintah mewajibkan penanganan perkara harus dilakukan sampai ke tingkat Peninjauan Kembali. Menurutnya, memberikan hak kepada badan atau pejabat pemerintah untuk mengajukan PK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam praktiknya upaya PK hanya digunakan sebagai alasan untuk menunda atau memperlambat pelaksanaan eksekusi atas suatu putusan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.