JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, pada Rabu (6/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang Perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo beserta tujuh hakim konstitusi lainnya. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah dan DPR.
Hak Asuh Anak
Presiden/Pemerintah diwakili oleh Dirjend Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Asep Nana Mulyana. Dalam persidangan, Asep mengatakan bahwa pada prinsipnya suami istri yang telah bercerai secara hukum masih diberikan hak dan tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian sehingga kedua belah pihak harus tetap memiliki itikad baik demi perkembangan anak.
“Itikad baik dalam perilaku hukum sangat penting dilakukan yang dalam implementasinya para pihak yang bersengketa harus tetap melaksanakan putusan pengadilan dengan baik dan dalam hal ini jika ingin melakukan perbuatan atau tindakan berkaitan dengan anak dimana orang tua sudah cerai. Tindakan terhadap anak yang diasuh berdasarkan putusan pengadilan seharusnya dilaksanakan dengan suatu kesepakatan-kesepakatan untuk menghindari dampak yang negatif terhadap anak. Dimana jika anak secara hukum telah menjadi hak asuh ibunya, maka ayah sebagai mantan suami harus bersepakat terlebih dahulu dengan mantan istri sebagai ibu anak,” terangnya.
Namun, sambung Asep, jika ayah sebagai mantan suami melakukan tindakan-tindakan terhadap anak tanpa adanya kesepakatan terhadap mantan istri sebagai hak asuh anak, dapat berdampak yang tidak baik. Implikasi terhadap tindakan ayah terhadap anak dalam kondisi perceraian yang tidak dilandasi atas dasar itikad baik dalam hal ini tidak adanya kesepakatan atau bahkan dengan sengaja mengambil paksa atau dengan cara lain atau berniat tidak baik merupakan perbuatan melawan hukum, dalam keadaan yang demikian Ibu sebagai hak asuh dapat melaporkan kepada pihak yang berwajib (Polisi) sebagai rasa tanggung jawab terhadap anak.
Laporan Harus Ditindaklanjuti
Terhadap dalil para Pemohon mengenai laporan terhadap perbuatan melawan hukum, Pemerintah menjelaskan, jika terlapor telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, dapat dinilai dari dampak yang dilakukan oleh terlapor. Jika tidak terjadi dampak yang negatif terhadap anak sebagai obyek pelapor, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tidak taat terhadap putusan pengadilan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata dan dalam hal ini dapat diselesaikan dalam ranah hukum perdata. Namun, jika perbuatan terlapor berdampak implikasi yang negatif terhadap anak sebagai objek apakah adanya perbuatan penganiayaan atau perbuatan yang mengancam keselamatan anak sebagai objek maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana.
Menurut Pemerintah, laporan tidak ditindaklanjuti dengan alasan yang melakukan perbuatan adalah ayah kandung dari si anak sendiri, merupakan alasan yang kurang tepat. Karena jika laporan tersebut tidak ditindaklanjuti, maka secara hukum dampak yang dilakukan terlapor tidak dapat diukur secara hukum apakah perbuatan ayah yang dituduh membawa anak dari ibu kandungnya berdampak positif atau negatif terhadap si anak. Meskipun terlapor adalah ayah dari anak, namun jika adanya laporan yang merupakan kepentingan hukum pelapor tetap harus ditindaklanjuti sebagai upaya negara untuk melindungi si anak dari perbuatan yang berdampak tidak baik serta dalam rangka mencegah perbuatan yang dapat memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya.
Pengambilan Paksa Anak
Selanjutnya Pemerintah menjelaskan, terhadap perbuatan "sewenang-wenang melakukan pengambilan paksa dan menguasai anak sepenuhnya" dapat diukur dari aspek hukum perdata atau hukum pidana. Dari aspek hukum perdata jika memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Sehingga penyelesaiannya dalam ranah gugatan perdata. Namun jika perbuatan sewenang-wenang melakukan pengambilan paksa dan menguasai anak sepenuhnya diukur dari aspek hukum pidana harus dapat memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP "Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Jika perbuatan pengambilan paksa dan menguasai anak sepenuhnya dapat di tafsirkan sebagai unsur pidana menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang maka seharusnya sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP dapat diterapkan sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana. Namun jika pengambilan paksa dan menguasai anak sepenuhnya tidak dapat di tafsirkan sebagai unsur pidana menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang maka ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP tidak dapat diterapkan.
Berdasarkan atas permasalahan tersebut dapat diyakinkan bahwa *menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang ada potensi terjadinya perbuatan melawan hukum, perbuatan pemaksaan, perbuatan kriminal atau perbuatan tidak beritikad baik, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sehingga penyelesaiannya harus dilaksanakan berdasarkan kaidah hukum yang dapat menyelesaikannya.
Implementasi Norma
Anggota Komisi III DPRI RI Taufik Basari dalam keterangannya di persidangan mengatakan permohonan Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas melainkan persoalan implementasi norma. Selain itu, menurut DPR, frasa "barangsiapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsh – Indie merupakan terjemahan dari "Hij die" dalam bahasa Belanda. UU 1/2023 tentang KUHP telah mengonsolidasikan beberapa pasal-pasal yang perlu diperbaharui baik dalam KUHP UU 1/1946 maupun undang-undang lainnya melalui penghapusan maupun penataan ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, serta rumusan tindak pidana khususnya pada bagian adressat norm dengan mengakomodir asas lex certa serta lex scricta dan pemenuhan keadilan.
Pria yang akrab disapa Tobas itu lebih lanjut menjelaskan Frasa "hij die" dalam Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsh–Indie yang selama ini diterjemahkan sebagai frasa “barangsiapa” telah diperbaiki menjadi “setiap orang”. Dengan demikian, terdapat relevansi rujukan perbaikan rumusan pasal dalam UU 1/2023 Tentang KUHP yang baru dengan permohonan a quo. “DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitas Pasal a quo dalam pengujian KUHP UU 1/1946 terhadap UUD NRI Tahun 1945,” tegas Tobas.
Baca juga:
Perjuangkan Hak Asuh, Lima Ibu Persoalkan Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami
Sebagai tambahan informasi, permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946).
Selengkapnya Pasal 330 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (2/11/2023), kuasa Pemohon, Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.
Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.
Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.
Menurut para Pemohon, frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia di mana terdapat peran dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pengawasan serta penegakan hukum guna tercapainya kesejahteraan bagi anak. Oleh karenanya negara berwenang melakukan penindakan terhadap orang tua yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.