JAKARTA, HUMAS MKRI – Sri Rejeki Asri selaku kuasa dari sejumlah 12 mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar kembali menghadiri sidang uji materiil Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring. Sidang kedua dari Perkara Nomor 23/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Selasa (5/3/2024) di Ruang Sidang Panel MK.
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani ini, Sri menjabarkan poin-poin perbaikan dari permohonan para Pemohon. Beberapa di antaranya pada bagian kedudukan hukum dengan menambahkan kualifikasi para Pemohon. Kemudian para Pemohon juga telah menguraikan kerugian konstitusional yang dialami pihaknya atas keberlakuan norma yang diujikan. Selanjutnya telah pula dilakukan penambahan pada posita atau alasan permohonan serta penambahan argumentasi, teori, dan asas terkait permohonan yang diajukan pada persidangan ini.
“Kemudian tentang potensi kekosongan hukum, meski UU 1/1946 sudah dicabut dan diubah menjadi KUHP namun ketentuan tersebut masih berlaku hingga 2026 yang berpotensi dijadikan landasan hukum dalam mengganjar para aktivis dalam menanggapi atau memberikan kritik atas berlangsungnya pemilu pada masa sekarang ini,” sebut Sri.
Baca juga: Sejumlah Mahasiswa Pertanyakan Pemaknaan Batasan Penyebaran Berita Hoaks
Sebelumnya pada Sidang Pendahuluan (21/2/2024) lalu, para Pemohon melalui Sri Rejeki Asri selaku kuasa menyebutkan Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Sebab pada kedua norma tersebut tidak memberikan kriteria yang dimaksud dengan keonaran di kalangan rakyat, sehingga menimbulkan penafsiran yang subjektif dan sewenang-wenang dari penegak hukum. Di samping itu, pasal-pasal tersebut tidak memberikan batasan mengenai kerugian atau kerusakan yang harus ditimbulkan oleh berita atau pemberitaan bohong untuk dapat dikategorikan sebagai keonaran. Akibatnya, pasal tersebut dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap menyebarkan berita atau pemberitaan bohong tanpa memperhatikan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
Selain itu, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 KUHP tidak sesuai dengan perkembangan zaman karena tidak mempertimbangkan adanya media sosial sebagai sarana komunikasi dan informasi yang dapat menjadi sumber dan korban dari berita bohong. Untuk itu, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 14 ayat 1 KUHP inkonstitusional sepanjang delik keonaran dimaknai sebagai huru-hara secara langsung atau kerusuhan fisik. Serta meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha