JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas pengujian materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Kamis (29/2/2024). Pemohon ialah mantan notaris dan notaris aktif yang memiliki hubungan ayah dan anak.
Pemohon I bernama Sunyoto yang tahun ini akan menginjak usia 70 tahun. Sunyoto sudah tidak lagi menjabat notaris sejak 5 Mei 2022 karena telah memasuki usia pensiun. Dia adalah ayah dari Pemohon II yang bernama Jaka Fiton, yang masih menjadi notaris sampai 25 Oktober 2044. Sang anak pun bertindak sebagai kuasa dari ayahnya untuk mengajukan permohonan dalam Perkara Nomor 34/PUU-XXII/2024.
“UU Jabatan Notaris memberikan batas usia notaris yaitu bekerja sampai 65 tahun adalah sangat merugikan. Kerugian mana kehilangan hak-haknya atas pencaharian yang halal untuk penghidupan yang layak karena selama menjabat sebagai notaris dia tidak diberi gaji, tidak menjadi pegawai, tidak juga menikmati BPJS Kesehatan, bukan karyawan, bukan pengusaha, bukan aparatur sipil negara, bukan pejabat publik, serta dilarang merangkap jabatan profesi apapun. Sehingga setelah pensiun seorang notaris tidak lagi mempunyai kemampuan apapun kecuali apa yang dikerjakan selama menjabat,” jelas Jaka di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan dalam hal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk mengembangkan dan memajukan dirinya, hak untuk memilih pekerjaan serta memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan (2), serta Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kerugian-kerugian tersebut timbul karena berlakunya ketentuan-ketentuan spesifik yang termaktub dalam KUHPer, UU Jabatan Notaris, dan UU ITE yang tidak mempunyai suatu ratio legis berupa landasan dan/atau rasionalisasi yang wajar, patut, setara, adil, dan benar.
Para Pemohon menyebutkan sejumlah kerugian akibat berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Kerugian tersebut antara lain, kerugian akibat adanya kekosongan, celah, disharmoni dan ketidakselarasan serta tersesat oleh tradisi sejak masa kolonial Hindia Belanda yang tetap diadaptasi dengan berlakunya ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, Pasal 165 HIR, Pasal 285 RGB, dan Pasal 1 ayat (7) UU Jabatan Notaris; kerugian akibat adanya pembatasan usia disebabkan dengan berlakunya ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU Jabatan Notaris; kerugian akibat adanya pembatasan wilayah jabatan Notaris disebabkan dengan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (1), (2) dan (3) UU Jabatan Notaris; kerugian akibat adanya pengeculian rangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan/atau Pejabat Lelang Kelas II namun tidak ada kepastian hukum di luar UU Jabatan Notaris atas pengaturan yang setara berdasarkan norma Undang-Undang, mirisnya hanya berdasarkan peraturan di bawah undang-undang disebabkan dengan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf g UU Jabatan Notaris; kerugian akibat adanya larangan rangkap pekerjaan apapun namun sangat multi tafsir, sedemikian luas, umum dan tidak terhingga dalam mengungkung kehidupan di luar profesi yang diemban sebagai pribadi bukan lagi sekedar dari predikat jabatan umumnya disebabkan dengan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf i UU Jabatan Notaris; kerugian akibat adanya pembatasan bagi Para Pemohon untuk menentukan bagi dirinya sendiri honorarium dalam rangka meraih taraf hidup dan kesempatan yang setara dengan warga negara lainnya disebabkan diberlakukannya ketentuan Pasal 36 ayat (2), (3) dan (4) UU Jabatan Notaris; kerugian organisasi tunggal bagi Para Pemohon membelenggu dan memutilasi haknya menguji secara tuntas berupa kebebasan menentukan mana yang paling tepat, ideal dan minim atau tanpa indikasi kolusi, korupsi dan nepotisme, yang hanya fokus kepada kualitas anggotanya disebabkan diberlakukannya ketentuan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU Jabatan Notaris; serta kerugian akibat akta otentik tidak teridentifikasi secara tegas dan harfiah sesederhananya belum menjadi bagian atau tidak terjangkau di dalam definisi dokumen elektronik. Merujuk kepada fakta kontekstual kekinian bagi notaris sebagai profesi atau pejabat umum, yaitu tidak eksis dan berdiri sendirian di semesta ini, yang menjadikannya terisolasi dalam lalu lintas peradaban teknologi dan pergaulan masyarakat modern yang sudah tiada sekat dan lintas batas, sedemikian bertransformasi digital dalam kehidupannya serta pelayanan, standar dan praktik terbaik yang dikehendaki dalam transaksi, kebutuhan, kepentingan dan keperluan privat maupun publik untuk dipenuhinya aspek- aspek diantaranya mobilitas, keutuhan, kenyamanan, keamanan, konektivitas, integrasi, ketepatan dan kecepatan meskipun berlaku Pasal 1 ayat (4) UU ITE.
Dalam petitumnya, Para Pemohon meminta Mahkamah membuat norma baru dan sekaligus memohon untuk menambahkan persyaratan baru dan bukan sekadar memaknai ataupun memberi makna baru terhadap pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan-ketentuan yang diuji itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan Para Pemohon memberikan pemaknaan alternatif pada pasal-pasal yang diuji.
Petitum 17 Halaman
Sidang panel ini diketuai Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dengan anggota Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Daniel menyoroti banyaknya undang-undang serta norma yang diuji dengan petitum sampai 17 halaman dalam satu permohonan.
“Ini petitum terbanyak yang pernah saya, selama saya menjadi hakim,” kata Daniel.
Namun, kata dia, hal ini menjadi hak sepenuhnya Para Pemohon. Kendati demikian, dia menegaskan, Para Pemohon harus bisa membuktikan inkonstitusionalitas norma-norma yang diuji dan dasar pengujian dalam UUD 1945.
Sebelum menutup persidangan, Ridwan menginformasikan, Para Pemohon dapat mengajukan perbaikan permohonan dan diserahkan kepada MK paling lambat Rabu, 13 Maret 2024 pukul 09.00 WIB. Jadwal sidang selanjutnya akan diagendakan MK dan diberitahukan kepada Para Pemohon.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.