JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah pengusaha dalam bidang jasa/hiburan mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Norma tersebut mengatur terkait pengkhususan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Selengkapnya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”
Permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional atas norma Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Menurut para Pemohon, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Adanya perlakuan yang berbeda secara khusus dan karena itu bersifat diskriminatif terhadap lima jenis pajak hiburan tertentu dan karena itu merugikan secara materiil dan merugikan secara kepentingan konstitusional dari Para Pemohon,” ujar kuasa hukum Para Pemohon, Muhammad Joni, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Menurut Para Pemohon, norma pasal yang diuji bersifat diskriminatif dalam pengenaan tarif pajak hiburan tertentu. Sementara, kata Para Pemohon, diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa adalah nama jenis usaha bersifat umum yang tidak identik diklaim bersifat mewah (luxury) dan tak seharusnya yang perlu dikendalikan.
Dampak Pandemi Covid-19
Selain itu, Para Pemohon menyatakan tidak benar dan keliru terkait anggapan bahwa kegiatan jasa hiburan sudah pulih dari dampak luar biasa pandemi Covid-19 apabila diperhadapkan dengan data realisasi pajak hiburan. Menurut data di masa sebelum pandemi Covid-19, realisasi pajak hiburan sebesar Rp 2,4 triliun. Sedangkan pada 2020 hanya Rp 787 miliar. Kemudian anjlok pada 2021 dengan angka realisasi penerimaan pajak hiburan di daerah hanya Rp 477 miliar.
“Oleh karena itu tidak berdasar anggapan yang menyebutkan jasa hiburan sudah pulih yang dipakai sebagai dalih pembenaran pengenaan pajak hiburan tertentu tinggi sebagaimana ketentuan Pasal 58 ayat (2),” jelas Joni.
Dalam petitumnya, Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Persidangan ini dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Enny mengatakan, Para Pemohon seharusnya menjabarkan kualifikasi badan hukum terkait siapa yang sah dan berwenang untuk mewakilinya berperkara di MK berdasarkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).
“Disebutkan, apakah direktur utamanya saja yang berhak mewakili ataukah kemudian memang perlu dengan unsur yang lain. Itu ada dalam AD/ART-nya ditambahkan dan sertakan bukti-buktinya. Jangan sampai nanti ada yang mengatakan, lho, ini bukan yang berhak mewakili badan hukum tersebut,” kata Enny menasihati.
Selain itu, Enny juga mengingatkan, Para Pemohon harus semakin banyak menjelaskan pertentangan antara norma yang dimohonkan dan batu uji atau dasar pengujian dalam UUD 1945 yang diajukan. Hal yang sama juga disampaikan Ridwan Mansyur agar Para Pemohon menguraikan dengan jelas secara satu per satu pertentangan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian.
Kemudian, Ridwan juga menyarankan Para Pemohon dapat memberikan uraian mengenai perbandingan pengaturan norma a quo dengan peraturan sebelumnya dalam bentuk tabel. Termasuk juga perbandingan besaran tarif pajak yang dibebankan kepada setiap jasa/hiburan yang berlaku sebelum Pasal 58 ayat (2) UU HKPD.
“Saudara bikin itu secara runtut dan detail. Kemudian juga perlu menguraikan argumentasi alasan secara sistematis dan juga tentunya runtut atas pertentangan norma yang dimohonkan untuk diuji dengan batu uji,” tutur Ridwan.
Arief Hidayat menambahkan, Para Pemohon sebaiknya memperbaiki petitum karena apabila pasal yang dimohonkan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka jasa/hiburan yang disebutkan dalam norma a quo sama sekali tidak dipungut pajak. Para Pemohon dapat mengajukan ketentuan alternatif untuk dimaknai sebagai norma yang disebut dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD.
Sebelum menutup persidangan, Arief mengatakan, Para Pemohon dapat mengajukan perbaikan permohonan. Selambat-lambatnya, perbaikan permohonan disampaikan ke MK pada Rabu, 13 Maret 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.