JAKARTA, HUMAS MKRI - Berdasarkan filosofis, Undang-Undang Merek mengakui merek tidak hanya menjadi identitas bisnis tetapi juga alat yang dapat meningkatkan daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, norma tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemilik merek dan mencegah praktik yang dapat merugikan konsumen atau pesaing bisnis.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Wagiman, Ahli Filsafat yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG), pada Rabu (28/2/2024). Sidang kali ini untuk memeriksa dua perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023. Permohonan Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Ricky Thio, Pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pemilik hak merek “HDCVI & LOGO”. Sedangkan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta.
Namun, norma “tiga tahun berturut-turut” pada UU Merek, sambung Wagiman, tidak memberikan detail atau kriteria yang spesifik terkait dengan situasi dan kondisi yang harus terpenuhi seperti penggunaan merek, pemeliharaan hak, atau pelaksanaan kewajiban tertentu. Sehingga, ketidakjelasan ini menimbulkan interpretasi yang bervariasi dan memunculkan tantangan dalam penerapan normanya. Kembali pada konteks filosofis, pada merek termuat nilai berbagi yang diturunkan dalam dua asas, yakni perlindungan bagi UMKM yang disebutkan secara eksplisit dan perlindungan bagi industri dalam negeri.
Pemuatan “diberikan pada Pihak Ketiga untuk menghapuskan merek” tetapi juga terdapat hal menyoal perlindungan masih berlaku 10 tahun, hal ini bagi Ahli justru dapat menimbulkan efek negatif. Karena adanya ketidakpastian hukum dan merugikan pemilik merek. Sebab, pihak ketiga dapat dengan mudah mengajukan penghapusan tanpa batasan yang jelas.
“Dengan demikian, kebijakan pada norma tersebut berpotensi menciptakan iklim bisnis yang tidak stabil dan tidak mendukung investasi jangka panjang. Sebab pemilik merek enggan mengembangkan mereknya jika risiko penghapusan oleh pihak ketiga terlalu tinggi,” jelas Wagiman pada Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga:
Pemerintah Sampaikan Keterangan Ihwal Penghapusan Merek Terdaftar
Menguji Ketentuan Hukum Penghapusan Merek
Pengusaha UMKM Ulas Konvensi Internasional Soal Hak Merek
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Ricky Thio, Pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam negeri yang memiliki hak merek “HDCVI & LOGO” yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemohon menguji Pasal 74 UU MIG ihwal penghapusan merek terdaftar.
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (15/11/2023), Pemohon yang hadir didampingi kuasanya, James Erikson Tamba mengatakan norma hukum merek yang dimaksudkan untuk melindungi UMKM seharusnya memperhatikan ciri UMKM dalam negeri. Menurut Pemohon, ketentuan hukum Pasal 74 ayat (1) UU MIG tentang penghapusan merek yang tidak digunakan selama tiga tahun dalam perdagangan, sangat merugikan UMKM yang memiliki modal terbatas dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sehingga jika terjadi keadaan yang menyebabkan UMKM tidak dapat bereproduksi, misalnya terjadi Pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan lainnya sehingga hak mereknya tersebut dapat dihapuskan akibat berlakunya ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MIG. Pemohon berkeyakinan Pasal 74 UU MIG bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak berkuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Persamaan Merek dalam UU MIG
Panel Hakim Mengonfirmasi Penyerahan Berkas Perbaikan Uji Persamaan Merek
Pengusaha UMKM Ulas Konvensi Internasional Soal Hak Merek
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta. Pemohon mengujikan Pasal 21 ayat (1) UU MIG.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (19/12/2023), Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU MIG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak untuk mengajukan gugatan pembatalan merek apabila ada persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan yang dimiliki merek orang lain, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat.
Pemohon pun mengungkapkan kasus konkret, yaitu adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGA.JKT.OST dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Dalam putusan tersebut permohonan gugatan yang dilakukan penggugat ternyata ditolak. Pihak yang bersengketa yaitu PUMA SE sebagai penggugat dan PUMADA sebagai tergugat.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 UU MIG bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” untuk diubah menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.