JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945. Sidang ini digelar pada Rabu (28/2/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah resmi menetapkan tarif efektif pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, "Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)".
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Pemohon yang diwakili oleh Adong N.M.P Simanjuntak mendalilkan pasal a quo inkonstitusional. Pemohon menilai sebelumnya dalam UU HKPD terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif.
Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40% dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) yang berbunyi “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)” dan Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyarankan pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukum dengan menyesuaikan Anggaran Dasar Perusahaan. “Saran juga pada kedudukan hukum boleh dipertajam juga di alasan permohonan. Ini kan yang dijadikan landasan pengujian tidak hanya satu UUD 1945. Maksud saya kerugian itu kalau atas dasar misalnya Pasal 28 ini apa? Jadi lebih baik disarankan untuk sendiri-sendiri jadi tidak gelondongan mengalami kerugian konstitusional. Jadi, lebih baik dan argumentatif,” ujar Arsul.
Hal yang sama dikatakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Ia meminta pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum serta menguraikan kerugian sebagai sebuah PT dengan kerugian sebagai pelaku usaha. “Karena yang mengajukan permohonan bukan hanya dari prinsipal ini saja, ada beberapa permohonan. Jadi lebih memperkuat lagi. Tolong nanti disampaikan lebih detil pada bagian kedudukan hukum,” ujarnya.
Di akhir persidangan, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kerja untuk Pemohon melakukan perbaikan. Adapun batas waktu penyampaian perbaikan, yakni Rabu, 13 Maret 2024 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan