JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejumlah 12 mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar mengajukan permohonan pengujian Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 23/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Rabu (21/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasal 14 ayat (1) KUHP menyatakan, “Barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukum penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.” Pasal 15 KUHP menyatakan, “Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.“
Para Pemohon melalui Sri Rejeki Asri selaku kuasa menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Sebab, pada kedua norma tersebut tidak memberikan kriteria yang dimaksud dengan keonaran di kalangan rakyat, sehingga menimbulkan penafsiran yang subjektif dan sewenang-wenang dari penegak hukum. Di samping itu, pasal-pasal tersebut, sambungnya, tidak memberikan batasan mengenai kerugian atau kerusakan yang harus ditimbulkan oleh berita atau pemberitaan bohong untuk dapat dikategorikan sebagai keonaran. Akibatnya, pasal tersebut dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap menyebarkan berita atau pemberitaan bohong tanpa memperhatikan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada. Selain itu, pasal a quo tidak sesuai dengan perkembangan zaman karena tidak mempertimbangkan adanya media sosial sebagai sarana komunikasi dan informasi yang dapat menjadi sumber dan korban dari berita bohong.
“Untuk itu, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 14 ayat 1 KUHP inkonstitusional sepanjang delik keonaran dimaknai sebagai huru-hara secara langsung atau kerusuhan fisik. Menyatakan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap salah satu kuasa lainnya dari para Pemohon menyebutkan petitum yang dimohonkan para Pemohon di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani yang disampaikan secara daring.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel menyebutkan kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional para Pemohon. Selain itu, para Pemohon juga perlu menguraikan kerugian potensial dan faktual yang dapat saja dialami dari kerberlakuan norma yang diujikan beserta contoh konkret substansi dari berita/tulisan yang dimaksudkan. Berikutnya, para Pemohon dapat memperhatikan pasal yang dijadikan landasan pengujian, sebab pasal demi pasal harus dibuatkan uraian hukumnya.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul mencermati para Pemohon untuk melihat rujukan dari undang-undang yang dimaksudkan yang telah mengalami perubahan, sehingga ditulis berdasarkan amendemen terbaru dari norma yang diujikan. “Coba distrukturkan kembali pasal yang diujikan dan batu ujinya, sehingga perlu juga para Pemohon meyakinkan Mahkamah bahwa tidak ada nebis in idem dari permohonan ini dengan permohonan yang pernah diajukan ke MK,” saran Arsul.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Anwar menyebutkan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari mendatang. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 5 Maret 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha