JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945. Sidang ini dilaksanakan pada Selasa (20/2/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 20/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Mohammad Riyadi Setyarto yang berprofesi sebagai Wiraswasta. Pemohon menguji Pasal 79 KUHP yang berbunyi, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:“.
Dalam sidang yang digelar secara luring dan dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa menyampaikan bahwa ia merupakan anak dari korban tindak pidana pencurian surat dokumen berharga milik Alm. Ayahnya A DM. Pencurian ini dilakukan oleh Dd Sghrt dan Hndr Spry pada Februari 1999. Saat itu, kondisi ayah Pemohon sedang dalam keadaan sakit sehingga tidak sadar bahwa dokumen tersebut dicuri.
“Pemohon mendengar dan melihat pengakuan seseorang yang bernama inisial Dd Sghrt, pada tahun 2018, yang menyatakan bahwa Dd Sghrt pada Februari 1999 telah mencuri pada saat almarhum A Dm sakit (A Dm nama inisial ayah Pemohon) dan telah menyebabkan A Dm wafat serta melakukan rangkaian pencurian lagi. Bahwa semua tindakan itu dilakukan bersama-sama dengan orang berinisial pak Hndr Spry, yang saat ini sudah wafat. Pengakuan itu cocok dengan rangkaian penggalan-penggalan fakta yang Pemohon alami tetapi fakta adanya tindak pencurian itu baru Pemohon ketahui, setelah Dd Sghrt mengatakan hal itu kepada Pemohon. Dd Sghrt berpakaian seperti layaknya ustad Arab sedangkan Hdr Spry berpakaian seperti ustad Jawa, dengan membawa buku-buku doa berbahasa arab, botol-botol berisi air, serta bungkusan koran, yang kemudian diketahui adalah berisi golok,” terangnya.
Menurut Pemohon, dokumen tersebut berupa dokumen keuangan yang bernilai jutaan pound sterling. Tindak pidana ini terungkap setelah adanya informasi dari pihak perbankan di luar negeri bahwa dokumen-dokumen tersebut diuangkan oleh pihak lain sejak tahun 2002 secara bertahap. Setelah adanya info tersebut, Pemohon melaporkan kepada pihak kepolisian di Madiun sekitar tahun 2019-2020 namun ditolak karena peristiwa tindak pidana tersebut terjadi pada tahun 1999. Aturan kedaluwarsa ini tercantum dalam KUHP.
Pemohon menjelaskan, untuk mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan mendapatkan perlindungan diri pribadi, harta benda serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan seperti dijamin di pasal 28G (1) UUD 1945, maka Pasal 79 KUHP UU Nomor 1 Tahun 1946 perlu diperbaiki dan diubah menjadi “Tenggang kedaluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah perbuatan diketahui oleh pihak korban atau pihak yang dirugikan, kecuali dalam hal-hal berikut:“ Apabila permohonan ini dikabulkan maka jelas Pasal 79 KUHP yang diuji dalam permohonan ini akan menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan yang dapat berujung terhukumnya para pelaku perbuatan pencurian dan tindak pidana lainnya dengan batasan kedaluwarsa yang lebih adil bagi pihak korban atau pihak yang dirugikan. Sehingga hak-hak pihak korban dan pihak yang dirugikan dapat terjamin dan tidak hilang.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah perbuatan diketahui pihak korban atau pihak yang dirugikan”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan ada beberapa hal yang memang harus diperbaiki. Guntur menyarankan Pemohon mempelajari Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
“Karena untuk membuat permohonan itu tidak hanya melihat contoh-contoh, tetapi juga dasar hukum untuk mengajukan permohonan itu sekarang PMK Nomor 2/2021. Tolong dibaca supaya menyesuaikan dengan PMK 2/2021 sambil juga melihat contoh permohonan yang ada di laman MK,” terangnya.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan permohonan pemohon belum menggambarkan permohonan ini lebih baik. “Dalam permohonan ini biasanya nanti ada perihalnya. Selain itu, kata ‘para Pemohon’ diganti jadi ‘pemohon’,” ujar Daniel.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Berkas perbaikan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 4 Maret 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.