JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketentuan mengenai penghapusan merek terdaftar secara prinsip aturan mengacu pada ketentuan Article 19 Trips Agreement yang dalam ketentuan internasional disebutkan, suatu merek terdaftar dapat dibatalkan apabila tidak digunakan selama minimal 3 (tiga) tahun berturut-turut kecuali ada alasan yang sah dan dapat dibenarkan. Merek terdaftar wajib digunakan dalam kegiatan barang dan/atau jasa guna menjalankan fungsi merek itu sendiri sebagai daya pembeda dalam kegiatan perdagangan. Hal ini sekaligus memberikan hak bagi konsumen untuk mengenal suatu merek terdaftar dalam suatu produk yang diperdagangkan dalam lalu lintas perdagangan.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Mien Usihen, saat menyampaikan keterangan Pemerintah/Presiden dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG), pada Senin (19/2/2024). Persidangan digelar untuk dua perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023. Sedangkan agenda sidang ketiga ini adalah mendengarkan keterangan Presien/Pemerintah dan DPR. Namun DPR berhalangan hadir.
Lebih jelas Mien menjabarkan bahwa Trips Agreement sejatinya memberikan fleksibilitas jangka waktu terkait mulai dihitungnya penggunaan suatu merek. Trips Agreement hanya mensyaratkan merek dapat dihapuskan apabila tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Hal ini telah diselaraskan pula oleh ketentuan Pasal 74 UU MIG. Pemilihan waktu tiga tahun merupakan waktu yang cukup ideal bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek miliknya tersebut dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
“Apabila merek yang telah terdaftar namun tidak digunakan dalam kegiatan perdagangan, maka akan terjadi diskriminasi dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta memberikan anggapan adanya iktikad tidak baik untuk menghalangi pihak lain yang ingin mendaftarkan dan menggunakan merek dimaksud dalam kegiatan perdagangan,” sampai Mien.
Selain itu, jelas Mien, pengaturan penggunaan suatu merek terdaftar bersifat fleksibel, sebab apabila pemilik merek terdaftar belum mampu menggunakan merek miliknya dalam kegiatan perdagangan, maka dapat memberikan izin atau melisensikan kepada pihak lain untuk dapat menggunakan merek terdaftar tersebut. Sehingga, tidak ada batasan khusus bagaimana suatu merek harus digunakan maupun dipasarkan, baik dari segi wilayah maupun jangka waktu pemasaran. Dengan kata lain, pemilik merek dapat secara fleksibel menggunakan merek tersebut.
Sementara terkait dengan dalil Pemohon, Pemerintah mendapati bahwa penghapusan merek terdaftar milik Pemohon telah diputus melalui jalur peradilan sebagai lembaga yudikatif. Putusan pengadilan tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta didukung dengan bukti-bukti yang dihadirkan dalam proses persidangan.
“Dengan demikian, hak atas merek Pemohon tidak diambil secara sewenang-wenang, melainkan hak atas merek Pemohon telah diuji di pengadilan yang putusannya mengandung asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan,” tegas Mien.
Perlindungan Hukum Terhadap Merek
Menanggapi keterangan Pemerintah/Presiden tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti soal perlindungan hukum akibat adanya kasus khusus seperti Pandemi Covid-19 lalu yang berhubungan dengan batas waktu yang disebutkan UU MIG. “Apakah kemudian ada ketentuan lain yang ikut mem-back up apa yang dilakukan Pemerintah dalam perlindungan hukum bagi Pemohon jika terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki seperti masa Pandemi Covid-19,” tanya Enny.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menanyakan kebijakan Pemerintah yang memungkinkan sebuah merek tidak dihapus. “Apakah pemerintah punya kebijakan lainnya seperti Peraturan Pemerintah atau sejenisnya, yang memungkinkan merek tidak dihapus meski secara penggunaan selama tiga tahun berturut-turut dengan di luar penguacualian pasal ini?” tanya Arsul.
Perbandingan dengan Negara Lain
Berikutnya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mempertanyakan tentang adanya negara-negara seperti Inggris, Norwegia yang menerapkan pemisahan soal penggunaan dan perlindungan merek. Pada negara-negara tersebut, kata Guntur, penggunaan hak merek berlaku 10 tahun seperti Indonesia. Sedangkan perlindungan hukum atas merek tersebut berlaku lima tahun.
“Sementara di Indonesia ini hanya berlaku tiga tahun. Ini bisa diuraikan alasannya kenapa hanya tiga tahun. Lalu terkait dengan perlindungan hukum bagi pengguna merek, bolehkan Pemerintah jelaskan atas dasar evident apakah bisa pihak yang mengambil merek itu dapat mengambil merek yang katanya sudah tidak digunakan pemiliknya itu, kategorinya tidak digunakan lagi itu apa?” tanya Guntur.
Lisensi Merek
Sementara Ketua MK Suhartoyo mengajukan pertanyaan pada Pemerintah tentang pemberian lisensi sebuah merek yang tidak digunakan. “Merek yang tidak digunakan, diberikan izin pada pihak lain, itu diatur di mana, apakah bagian dari Trips agreement atau menjadi bagian tertentu pula dalam UU Merek? Apakah kemudian pemberian lisensi pada pihak lain itu bukannya justru berpotensi sebagai bagian dari cara modus bagi pihak yang tidak beritikad baik yang ingin menghindar dari ketentuan tiga tahun?” sampai Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan sidang beritkutnya akan digelar pada Rabu, 28 Februari 2024. Agenda persidangan berupa mendengarkan keterangan dari dua ahli yang dihadirkan oleh Pemohon Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Hukum Penghapusan Merek
Pengusaha UMKM Ulas Konvensi Internasional Soal Hak Merek
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 144/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Ricky Thio, Pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam negeri yang memiliki hak merek “HDCVI & LOGO” yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemohon menguji Pasal 74 UU MIG ihwal penghapusan merek terdaftar.
Dalam persidangan pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (15/11/2023), Pemohon yang hadir didampingi kuasanya, James Erikson Tamba mengatakan norma hukum merek yang dimaksudkan untuk melindungi UMKM seharusnya memperhatikan ciri UMKM dalam negeri. Menurut Pemohon, ketentuan hukum Pasal 74 ayat (1) UU MIG tentang penghapusan merek yang tidak digunakan selama tiga tahun dalam perdagangan, sangat merugikan UMKM yang memiliki modal terbatas dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sehingga jika terjadi keadaan yang menyebabkan UMKM tidak dapat bereproduksi, misalnya terjadi Pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan lainnya sehingga hak mereknya tersebut dapat dihapuskan akibat berlakunya ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MIG. Pemohon berkeyakinan Pasal 74 UU MIG bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan sepatutnya dinyatakan tidak berkuatan hukum mengikat.
Baca juga:
Menguji Ketentuan Persamaan Merek dalam UU MIG
Panel Hakim Mengonfirmasi Penyerahan Berkas Perbaikan Uji Persamaan Merek
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta. Pemohon mengujikan Pasal 21 ayat (1) UU MIG.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (19/12/2023), Pemohon mendalilkan kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU MIG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak untuk mengajukan gugatan pembatalan merek apabila ada persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan yang dimiliki merek orang lain, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat.
Pemohon pun mengungkapkan kasus konkret, yaitu adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGA.JKT.OST dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Dalam putusan tersebut permohonan gugatan yang dilakukan penggugat ternyata ditolak. Pihak yang bersengketa yaitu PUMA SE sebagai penggugat dan PUMADA sebagai tergugat.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 UU MIG bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” untuk diubah menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.