JAKARTA, HUMAS MKRI - Norma Pasal 43A dalam Pasal 2 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan yang dinyatakan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam KUHAP, semestinya tidak mengatur hal-hal yang terkait dengan tindakan pro justitia. Sebab, hal tersebut dapat berpotensi melanggar esensi dari penyelidikan itu sendiri dalam memeriksa bukti permulaan. Terlebih, terhadap tindakan dalam proses penyelidikan tidak dapat menjadi objek gugatan praperadilan, karena pada dasarnya tindakan yang dilakukan belum masuk pada upaya paksa (pro justitia). Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan tidak dapat mengatur ketentuan yang substansinya memberikan wewenang dalam penyelidikan yang mengandung sifat pemaksaan atau upaya paksa yang esensinya memuat norma hukum acara pidana yang seharusnya dimuat dalam undang-undang, bukan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Demikian pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih terhadap pengujian materiil UU HPP. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023 yang diajukan Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/2/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023.
Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah menyatakan frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan” dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “tidak terdapat tindakan upaya paksa”, sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP menjadi “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa”. Mahkamah juga menyatakan Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “tidak melanggar hak asasi wajib pajak”, sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP menjadi “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi wajib pajak”.
Lebih jelas Hakim Konstitusi Enny dalam pertimbangan hukum putusan tersebut menjabarkan terkait dengan dalil para Pemohon tentang Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana yang hanya terbatas mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif, tetapi mengatur ketentuan pidana bidang perpajakan. Mahkamah berpandangan bahwa peraturan menteri sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena adanya perintah dari undang-undang. Pendelegasian kewenangan dalam peraturan menteri tidak dimaksudkan untuk mengatur materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang. Melainkan hanya mengatur hal yang berkaitan dengan teknis administratif dalam pemeriksaan bukti permulaan yang termuat dalam Penjelasan Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP.
Oleh karena itu, sambung Enny, frasa ‘Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan’ dalam Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif, tetapi pembatasan hak dan kewajiban warga negara, wajib pajak adalah tidak sejalan dengan esensi dan ruang lingkup pendelegasian yang diberikan oleh undang-undang.
“Maka dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pembatasan terhadap pendelegasian wewenang dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana ketentuan norma Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 angka 13 UU HPP adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, oleh karena pemaknaan yang dilakukan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka dalil para Pemohon a quo beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Hakim Konstitusi Enny.
Tidak Boleh Ada Upaya Paksa
Berikutnya Enny menyatakan dalam pertimbangan hukum Mahkamah bahwa tidak diperbolehkan aparat pajak melakukan tindakan untuk pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan dalam menangani dugaan pelanggaran di bidang perpajakan dengan menggunakan kewenangan yang mengandung tindak upaya paksa. Dengan kata lain, proses pemeriksaan bukti permulaan pada prinsipnya tidak boleh menimbulkan upaya paksa. Sebab hal tersebut menjadi bagian yang dipersamakan dengan proses penyelidikan.
Oleh karenanya, sesuai dengan hakikat proses penyelidikan yang tidak boleh ada upaya paksa, jika terdapat tindakan upaya paksa dalam tahap pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan, maka lembaga praperadilan dapat melakukan pengujian akan sah atau tidaknya tindakan yang dimaksud. Namun, terhadap permohonan agar Mahkamah menegaskan menjadi objek praperadilan tidak dapat dilakukan karena objek praperadilan telah diatur secara rigid dalam ketentuan norma Pasa 77 KUHAP sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Jika Mahkamah mengakomodir keinginan para Pemohon tersebut, akan mempersempit hakikat objek praperadilan. Sehingga, dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak adanya kepastian hukum karena pemeriksaan bukti permulaan tidak menjadi objek praperadilan,” tegas Enny.
Peraturan Menteri Keuangan
Mahkamah menguraikan bahwa terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan Peraturan Menteri Keuangan karena tidak hanya mengatur hal-hal teknis administratif, tetapi juga pembatasan hak dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara. Sehingga menurut Pemohon hal tersebut tidak sejalan dengan kepastian hukum yang dijamin UUD 1945.
Atas pandangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Peraturan Menteri bukan merupakan bagian dari jenis peraturan perundang-undangan yang ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun peraturan perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/2022, yang melampaui batasan pengaturan dari Pasal 2 angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU HPP adalah peraturan menteri yang tidak dapat dibenarkan.
Pendapat Berbeda
Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023. Terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan hukum pajak memiliki karakter khusus yang bersifat lex specialis systematis, maka pendelegasian kewenangan mengatur tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan kepada Menteri Keuangan sudah senafas dengan UU PPP. Sekalipun secara kasat mata permohonan a quo tidak terkait langsung dengan eksistensi Pengadilan Pajak, namun apabila dicermati secara mendalam terdapat korelasi dengan perintah Mahkamah kepada pembentuk undang-undang agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023).
“Sehubungan dengan hal tersebut, oleh karena permohonan para Pemohon diajukan masih dalam masa transisi peralihan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung (one roof system), maka norma Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon sudah seharusnya dinyatakan ditolak,” kata Daniel.
Sedangkan pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan, sepanjang pengujian Pasal 43A ayat (1) UU HPP, seharusnya Mahkamah menolak (wordt ongeground verklaard) permohonan para Pemohon. Sedangkan terhadap pengujian Pasal 43A ayat (4) Guntur dan Saldi berpendapat sama dengan putusan a quo yakni mengabulkan sebagian dari Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP.
Baca juga:
Wajib Pajak Pertanyakan Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan
Badan Hukum Turut Serta Jadi Pemohon Uji Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Pajak
Eddy Hiariej: Pemeriksaan Bukti Permulaan Merupakan Penerapan Sunrise Principle
Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan Memiliki Kekhususan Sistematis
Tautan Putusan Nomor 83/PUU-XXI/2023 ihwal pengujian materiil UU HPP
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.