JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS). Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024 tidak jelas atau kabur (obscuur) karena terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dan yang dimohonkan (petitum).
“Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (13/2/2024).
Hakim Konstitusi Anwar Usman menjelaskan, petitum permohonan Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang jelas dan memadai pada bagian alasan permohonan. Pemohon lebih menguraikan mengenai fakta empiris terkait pengalaman Pemohon dalam menangani perkara arbitrase internasional dan kemudian mendalilkan norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis, dan menimbulkan ambiguitas. Terlebih, dalam persidangan pendahuluan dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon mengakui tidak memberikan alasan adanya penambahan dan perubahan norma yang diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan menjadi pendaftaran putusan arbitrase internasional, dalam posita.
Namun, Pemohon justru secara tiba-tiba dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 tanpa memberikan uraian yang jelas berkaitan pertentangan dengan norma yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, seharusnya Pemohon dalam bagian posita menjelaskan secara jelas dan memadai terlebih dahulu adanya pertentangan norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya sebagai denyut nadi dari permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sekaligus menjadi pemandu arah petitum permohonan.
“Dalam konteks demikian, petitum permohonan tidak boleh berubah arah dari makna dan jiwa posita permohonannya,” kata Anwar.
Sebagai informasi, menurut Pemohon, Pasal 65 UU 30/1999 seharusnya memuat norma yang memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan secara patut perihal pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan, in casu Arbiter, Pemohon, Termohon dan/atau kuasanya. Dalam petitum permohonannya, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(1) Yang berwenang menangani masalah pendaftaran serta eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional dan menyampaikannya kepada Arbiter, Pemohon, Termohon, dan/atau Kuasanya paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan pendaftaran diterima; (4) Permohonan eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional harus melampirkan Surat Permohonan dan Salinan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional”; serta menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(2) Terhadap permohonan eksekuatur dan eksekusi putusan arbitrase internasional sebagaimana ketentuan Pasal 66 huruf d, Ketua Pengadilan Negeri dapat menerima dengan memberikan eksekuatur sekaligus perintah pelaksanaan/eksekusi putusan atau menolak permohonan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang ini.” (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina