JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) gugur. Sebab, Pemohon perkara tersebut yang bernama Sopan Santun Duha meninggal dunia pada 7 Januari 2024, sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
“Menetapkan, menyatakan permohonan Pemohon gugur,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan Ketetapan Nomor 2/PUU-XXII/2024 pada Selasa (13/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Suhartoyo mengatakan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 23 Januari 2024, Kuasa Pemohon menyampaikan Pemohon prinsipal meninggal dunia pada Desember 2023. Terhadap hal demikian panel hakim meminta kepada Kuasa Pemohon untuk memastikan kebenaran informasi tersebut.
Kemudian dalam sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024, Kuasa Pemohon kembali membenarkan bahwa Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sebagaimana bukti Pemohon berupa Akta Kematian Nomor 1214-KM-29012024-0005 bertanggal 29 Januari 2024. Bersamaan dengan itu, Kuasa Pemohon menyampaikan tetap melanjutkan permohonan sekaligus mengganti subjek hukum dari Sopan Santun Duha menjadi Maribati Duha, selaku istri sekaligus ahli waris Pemohon.
Suhartoyo menjelaskan, kerugian hak konstitusional berbeda dengan hak keperdataan yang dapat dialihkan kepada ahli waris (pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 109/PUU-XVIII/2020). Meskipun Kuasa Pemohon hadir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, tetapi Pemohon meninggal sehingga hilangnya subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
“Terlebih lagi, berdasarkan ketentuan Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, salah satu alasan berakhirnya pemberian kuasa adalah dengan meninggalnya pemberi kuasa,” tutur Suhartoyo.
Di samping itu, sekalipun Kuasa Pemohon mengalihkan atau mengganti Pemohon dengan istri Pemohon, berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) huruf a Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, perbaikan permohonan dapat dilakukan dengan ketentuan Pemohon yang mengajukan permohonan tidak diganti secara keseluruhan. Subjek permohonan a quo tunggal dan yang bersangkutan terbukti meninggal dunia serta tidak ada subjek hukum lain selain Pemohon. Karena itu, tidak dapat dibenarkan adanya pengalihan atau penggantian subjek permohonan lain, maka permohonan a quo tidak dapat dilanjutkan dan harus dinyatakan gugur.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sebagai informasi, Sopan Santun Duha ialah warga Nias, Sumatera Utara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena menerima nilai klaim asuransi Rp 224,5 juta yang tidak sesuai dengan semestinya yaitu Rp 735 juta. Dengan demikian, dia menguji Pasal 251 KUHD yang menyatakan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyiannya keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.” Pemohon menilai norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Menurut Pemohon, Pasal 251 KUHD membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi untuk memanfaatkan norma tersebut guna kepentingan pribadi perusahaan dan juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu. Pasal 251 KUHD dinilai luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi tertanggung. Pengaturan ini sering kali dimanfaatkan sebagai celah hukum oleh perusahaan asuransi yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.
Pemohon berpendapat, Pasal 251 KUHD telah memberikan hak kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai hakim atas perkaranya sendiri, yakni menilai apakah terdapat pemberitahuan yang keliru atau tidak benar dan penyembunyian keadaan tertentu yang diduga dilakukan tertanggung. Perusahaan asuransi dapat membatalkan polis secara sepihak tanpa mempertimbangkan dan menilai keterangan tertanggung.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.