JAKARTA, HUMAS MKRI - Wiwit Purwito yang berprofesi sebagai karyawan swasta mengajukan pengujian Pasal 48 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 48 ayat (4) huruf e UU Penyiaran menyatakan, “Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurangkurangnya berkaitan dengan: … e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan”.
Hosnika Purba selaku kuasa hukum, Pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, dan Pasal 28F UUD 1945. Dalam perkara ini, Pemohon ingin adanya penegasan atas batasan dari perlindungan anak dalam mengonsumsi dunia perfilman. Sebab, saat ini semakin marak dunia perfilman yang mengandung unsur kekerasan, adegan percintaan dan dewasa, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi anak dan remaja. Pemohon dalam permohonannya juga menyebutkan beberapa contoh sinetron atau film yang ditayangkan televisi yang berdampak negatif bagi anak dan remaja, di antaranya “Anak Jalanan”, “Ganteng-Ganteng Serigala”.
Film-film demikian, sambung Hosnika, sangat jarang menampilkan adegan positif seperti semangat belajar, motivasi belajar, sementara reka adegan dilakukan di kawasan sekolah atau mengenakan seragam sekolah. Dari hal-hal tersebut, anak atau remaja cenderung meniru segala tingkah yang ditunjukkan oleh orang dewasa yang sering dilihat dan didengarnya. Sehingga, dapat dipastikan tayangan-tayangan televisi tersebut membuat para orang tua khawatir dengan tumbuh kembang dan karakter anak-anak yang terpapar dengan tayangan yang sarat dengan pesan negatif tersebut. Oleh karenanya, lembaga penyiaran (dalam hal ini KPI) yang menjadi media komunikasi massa yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penyaringan serta penyeleksian dunia film yang layak bagi anak dan remaja.
“Agar adanya kepastian hukum untuk melindungi anak-anak dan remaja tentang etika perilaku yang didapat dari media televisi, mohon kiranya Mahkamah Konstitusi memberikan putusan makna frasa Pasal 48 ayat (4) huruf e Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut, yaitu : perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan sepanjang dimaknai larangan menampilkan di tempat pendidikan sekolah setingkat SLTA/Sederajat atau memakai atribut seragam sekolah peradegan percintaan lawan jenis,” jelas Hosnika pada Panel Hakim Perkara Nomor 11/PUU-XXII/2024 yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan tentang legal standing dan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon yang bersifat potensial dan faktual. Selain itu, Pemohon dapat membedakan implementasi atau persoalan konstitusional yang dihadapi atas keberlakuan norma.
“Kemudian pada alasan permohonan dielaborasi lebih jauh terkait dengan asas atau doktrin yang memperkuat argumentasi dalam posita, sehingga nantinya diuraikan apakah dinyatakan bertentangan atau permintaan pemaknaan baru terhadap normanya,” saran Daniel dalam sidang yang digelar pada Jumat (2/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK tersebut.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menasihati soal perlindungan terhadap anak dan remaja yang dimaksudkan Pemohon, sehingga perlu uraian yang lebih spesifik dan terkait dengan keberadaan norma yang diujikan. Terakhir, Hakim Konstitusi Enny memberikan masukan mengenai objectum litis-nya yang dinilai keliru. Sebab, seharusnya norma yang dituju adalah UU Penyiaran dan bukan UU Komisi Penyiaran Indonesia. Kemudian Pemohon juga diharapkan dapat menyebutkan hak-hak yang relevan dijamin undnag-undang yang kemudian dilanggar oleh ketentuan pada norma yangdiujikan.
Sebelum menutup persidangan Enny menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 15 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.