JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Nomor 157/PUU-XXI/2023 dalam perkara mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (31/1/2024).
Dalam pertimbangan Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menuturkan, dalil permohonan para Pemohon a quo tidak dapat dilepaskan dari sifat tindak pidana korupsi yang telah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa atau extraordinary crime. Artinya, tindak pidana korupsi dapat disejajarkan dengan tindak pidana luar biasa lainnya yaitu tindak pidana terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau perusakan lingkungan berat yang mempunyai akibat sangat serius.
Ketentuan norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dapat ditambahkan jenis ancaman pidananya, tidak saja yang terberat ancaman pidana seumur hidup, tetapi dapat diterapkan hingga ancaman pidana mati. Berkaitan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dikategorikan tidak saja sebagai tindak pidana yang luar biasa, tetapi secara doktriner telah dimasukkan ke dalam jenis tindak pidana khusus yang mempunyai karakter yang berbeda, baik lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, penuntutan hingga mengadili, termasuk adanya perbedaan berkenaan hukum acaranya jika dibandingkan dengan penanganan tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana umum.
Dengan demikian, lanjut Daniel, jika keinginan para Pemohon diakomodasi oleh Mahkamah, maka persoalan baru akan muncul. Sebab, tindak pidana yang para Pemohon maksudkan untuk dapat dijadikan alasan pemberat, yaitu kolusi, nepotisme, pembunuhan berencana, dan lain-lain adalah tindak pidana yang masuk ke dalam jenis tindak pidana umum, yang memiliki karakter yang berbeda, baik tata cara penyidikan, penuntutan, hingga mengadili dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Persoalan baru dimaksud adalah bagaimana mungkin proses penyidikan, penuntutan dan mengadili dapat dilakukan penggabungan antara tindak pidana yang bersifat khusus dengan tindak pidana yang bersifat umum, karena di antara keduanya terdapat beberapa aspek perbedaan, termasuk sejumlah aspek dalam hukum acara (hukum formil) yang digunakan.
Di sisi lain, Mahkamah dapat memahami semangat para Pemohon yang berkeinginan untuk turut berpartisipasi atau berperan aktif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 41 dan Pasal 42 UU Tipikor, yang menurut para Pemohon norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tanpa adanya ancaman pidana mati sebagaimana yang ada sekarang ini, tidak memberikan efek jera. Namun, karena yang diinginkan para Pemohon a quo terkendala dengan persoalan yang bersifat formal, yaitu berkaitan dengan tata cara penuntutan atau aspek lain, maka jika dilanggar justru akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan, baik bagi pelaku maupun korban tindak pidana korupsi termasuk dalam hal ini adalah masyarakat luas.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon yang menyatakan ketentuan norma Pasal 2 ayat (1) UU PTPK inkonstitusional sepanjang tidak memuat ancaman pidana mati adalah tidak beralasan menurut hukum,” tutur Daniel.
Selanjutnya, Mahkamah telah berpendirian, norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak mungkin dapat dimasukkan frasa ‘pidana mati’, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas. Karena itu, permohonan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor inkonstitusional menjadi tidak relevan dipertimbangkan lebih lanjut, mengingat ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia masih tetap diperlukan, meskipun harus dipenuhi syarat ‘keadaan tertentu’. Ancaman pidana mati masih menjadi pilihan utama sebagai sanksi yang memberikan efek jera yang efektif.
Secara a contrario, jika ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka UU Tipikor kehilangan ancaman ‘pidana mati’ bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga, pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan apapun termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam ‘keadaan tertentu’ tidak lagi dapat dikenakan ancaman pidana mati.
Di sisi lain, secara doktriner, penerapan pidana mati tidak dilarang karena masih perlu dipertahankan untuk mencegah terjadinya tindak pidana berat (extraordinary crime) demi melindungi kepentingan masyarakat secara lebih luas. Bahkan, rujukan fundamental yang sering dipergunakan untuk diperbolehkan penerapan pidana mati adalah Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menegaskan hak hidup harus dilindungi hukum dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang, hal ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan: “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan hanya untuk kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat terjadinya kejahatan dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini dan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan berdasarkan putusan akhir yang diberikan oleh pengadilan yang berwenang.”
Dengan demikian, penerapan pidana mati tidak dapat dilakukan serta merta tanpa menghormati hak asasi manusia sebagaimana dijamin Pasal 28J ayat (1) UUD 1945, serta dalam konteks perkara a quo hanya dapat diterapkan atau diberlakukan secara eksepsional terhadap tindak pidana yang bersifat luar biasa. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang memohon agar ketentuan norma Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, terlepas putusan MK dimungkinkan bisa diakomodasi untuk menjadi bagian yang dapat dimuat dalam ketentuan norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU P3 atau tidak, secara substansial khusus dalam perkara a quo berkenaan dengan kebijakan pemidanaan (criminal policy), maka hal tersebut tidak mungkin dapat diterapkan. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 15 ayat (1) huruf a UU P3 adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor serta Pasal 15 ayat (1) huruf a UU P3 tidak melanggar jaminan terhadap perlindungan diri, rasa aman, hak untuk hidup, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Daniel.
Baca juga:
Pemohon: Koruptor Harus Dihukum Mati
Pemohon Perbaiki Uji UU Tipikor Soal Hukuman Mati Bagi Koruptor
Sebagai informasi, permohonan Perkara Nomor 157/PUU-XXI/2023 diajukan tiga mahasiswa yaitu Michael Munthe, Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang. Michael Munthe adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian Teja Maulana Hakim dan Otniel Raja Maruli Situmorang, keduanya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonnya. Selanjutnya, mereka meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 15 ayat (1) huruf a UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang penafsiran yang diajukan para Pemohon.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.