JAKARTA, HUMAS MKRI – Ada ketentuan yang mengharuskan perjanjian pemanfaatan tanah oleh pihak lain (pihak ketiga) dengan memuat besaran uang wajib tahunan (UWT) yang disesuaikan dengan tujuan dari pemanfaatannya, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum antara pemegang hak pengelolaan (HPL) dengan pihak lain (pihak ketiga) sebagai pemanfaat HPL, termasuk terhadap tanah hak pengelolaan yang dilekatkan pada Hak Guna Bangunan (HGB).
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah atas uji formil dan materiil terhadap Pasal 137 ayat (2) huruf c dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 164/PUU-XX/2023 ini dilaksanakan pada Rabu (31/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut terhadap permohonan Anisitus Amanat (Pemohon I) dan Budi Winarno Soejanto (Pemohon II) ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum Mahkamah. Ia menyebut adanya ketentuan yang mengatur tentang kewenangan negara menentukan biaya yang seharusnya dibayarkan dalam perjanjian pengelolaan tanah negara oleh pihak ketiga, menurut Mahkamah hal demikian bentuk dari penguatan pengaturan HPL dalam jaminan perlindungan dan kepastian hukum.
Sebab, sebagai tanah yang melekat hak pengelolaannya, sambung Enny, maka pihak lain (pihak ketiga) yang memanfaatkan tanah HPL tersebut harus membayarkan UWT sesuai dengan tujuan dari pemanfaatannya. Demikian juga jika yang memanfaatkan tanah adalah pemegang HPL, maka pembayaran UWT juga menjadi kewajibannya. Oleh karena itu, UWT menjadi kewajiban dari pihak yang memanfaatkan tanah HPL dan bukan oleh pemegang HPL.
Sehubungan dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh pihak lain (pihak ketiga), maka pelaksanaan perjanjian pemanfaatan tanah dan bukan perjanjian jual beli (peralihan hak) sebagaimana didalilkan Pemohon II pada waktu memeroleh HGB yang telah berakhir masa berlakunya, Mahkamah berpandangan bahwa HGB yang telah habis masa berlakunya dan tidak segera diperpanjang, dengan sendirinya tanah tersebut kembali kepada pemegang HPL atau kembali kepada negara.
“Sehingga terhadap tanah yang diberikan hak pengelolaan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan serta tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (pihak ketiga), kecuali dilepaskan untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Enny.
Baca juga:
Notaris Pertanyakan Uang Wajib Tahunan Atas Hak Pengelolaan Tanah dalam UU Cipta Kerja
Notaris Menyoal Uang Wajib Tahunan Atas Hak Pengelolaan Tanah Sempurnakan Kedudukan Hukum
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut memuat kewajiban pihak ketiga untuk membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) kepada pemegang Hak Pengelolaan sebagai kompensasi dari pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan. Dalam kasus konkret, Pemohon atas dasar kepercayaan mengurus pembaruan dari 750 sertifikat dari Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan (HPL). Terdapat 42 sertifikat HGB hasil pembaruan berlaku hingga 2024 dan 2041, namun sisanya ditunda pengurusannya sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan oleh Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Lebih jelas Anisitus bercerita bahwa para pemilik sertifikat harus mendapatkan surat rekomendasi atas peralihan HGB di atas HPL karena pada peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah terdapat ketentuan tarif uang wajib tahunan bagi pihak ketiga yang memperoleh bagian tanah hak pengelolaan berdasarkan perjanjian pemanfaatan tanah. Hal ini kemudian diujikan Pemohon ke MA dan dalam putusannya, Majelis Hakim MA berpendapat pengaturan mengenai rekomendasi dan tarif tersebut merupakan norma yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja. Pemohon mempertanyakan kenapa hal ini berlaku surut. Pemohon menilai ada kekosongan norma hukum terkait pengaturan tanah hak pengelolaan dalam UU Cipta Kerja. Untuk itu, ia meminta agar Mahkamah menambah rumusan norma baru dalam satu pasal tersendiri atau ayat tambahan pada pasal yang sudah ada. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina