JAKARTA, HUMAS MKRI - Seorang advokat bernama Diding Jalaludin mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS). Norma yang diuji ialah Pasal 65, Pasal 66 huruf d, Pasal 67 ayat (2), serta Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) UU Arbitrase dan APS terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Diding yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum mengatakan, sedang terlibat dalam proses penjajakan kesepakatan dengan salah satu perusahaan asing yang menjadi pihak dalam perkara arbitrase internasional. Pemohon menyampaikan perkaranya telah diputus oleh majelis arbitrase sebuah lembaga arbitrase asing. Dalam komunikasi yang dilakukan dengan pihak perusahaan tersebut, mereka mendapatkan informasi bahwa putusan arbitrase internasional yang memutuskan bahwa mereka sebagai pihak yang dimenangkan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga ia berkeinginan putusan tersebut dapat segera dilaksanakan/dieksekusi di Indonesia. Pemohon dalam perkara a quo merasa gembira karena pihak perusahaan telah mendapatkan informasi bahwa putusan arbitrase internasional yang memenangkan pihaknya sudah terdaftar di Indonesia.
Namun, di sisi lain, Pemohon merasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana perusahaan asing tersebut dapat mengetahui bahwa putusan arbitrase internasional itu telah terdaftar? Sementara dalam UU Arbitrase dan APS tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkewajiban memberitahukan perihal pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada para pihak yang berkepentingan.
“Apabila Pemohon menyampaikan informasi tersebut apa adanya padahal terdapat informasi yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Arbitrase dan APS, maka Pemohon terancam dan sangat berpotensi kehilangan kepercayaan klien,” ujar Diding dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang MK pada Selasa (23/1/2024).
Menurut Pemohon, setiap tindakan atau hasil dari tindakan yang dilakukan salah satu pihak yang terikat dalam suatu perkara harus diberitahukan secara patut kepada pihak-pihak yang terikat dengan perkara dimaksud. Sehingga para pihak dapat mengetahui dan dapat melakukan hak atau kewajiban hukum dari tindakan atau hasil dari tindakan perkara tersebut. Kewajiban memberitahukan tindakan sebagaimana diberikan kepada Pemohon yang akan melakukan suatu permohonan arbitrase. Pemohon wajib memberitahukan termohon perihal maksudnya tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 ayat UU Arbitrase dan APS.
Pemohon mengatakan, tiadanya aturan yang mewajibkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan mengenai pendaftaran putusan arbitrase internasional yang seharusnya dimuat dalam Pasal 65 UU Arbitrase dan APS telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai kuasa hukum para pihak yang berkepentingan. Padahal Pemohon sebagai kuasa hukum para pihak memiliki hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta hak untuk memperoleh informasi sebagaimana diatur Pasal 28F UUD 1945.
Pemohon merupakan advokat dan konsultan hukum sekaligus mediator bersertifikat. Pemohon pernah terlibat sebagai kuasa hukum dari arbiter sebuah lembaga arbitrase asing untuk melakukan tindakan hukum atas putusan arbitrase internasional, agar putusan tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia.
Petitum Pemohon
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Pasal 65 UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “(1) Yang berwenang menangani masalah pendaftaran, pengakuan, dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Dalam waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal putusan arbitrase internasional diucapkan, Arbiter atau Kuasanya mendaftarkan putusan tersebut pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (4) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional dan menyampaikannya kepada Arbiter, Pemohon, Termohon, dan/atau Kuasanya paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan pendaftaran diterima; (5) Permohonan pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional harus melampirkan Surat Permohonan dan Salinan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional.”
Kemudian, Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 66 huruf d UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta meminta MK menyatakan Pasal 67 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(2) Terhadap Permohonan pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Ketua Pengadilan Negeri dapat menerima dengan memberikan perintah pelaksanaan/eksekusi putusan atau menolak permohonan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang ini.”
Selain itu, Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi; (2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi; (3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung; (4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.”
Nasihat Hakim
Sidang ini dipimpin Ketua Panel Hakim Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam nasihat hakim konstitusi, Guntur mengatakan, Pemohon semestinya dapat menguatkan lagi kedudukan pemohon atau legal standing, alasan permohonan terkait isu kerugian hak konstitusional, serta petitum.
“Ada enggak relevansi antara posita Saudara dengan petitum, petitumnya itu clear enggak, kalau itu enggak jelas bisa obscure (permohonan kabur),” kata Guntur.
Di samping itu, Daniel menyinggung Pemohon yang belum menyertakan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Kemudian, Pemohon dapat menjelaskan secara detail atas pertentangan masing-masing norma yang diuji terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945.
“Sebab kalau itu tidak dijelaskan maka tidak ada kerugian konstitusionalnya, tidak ada persoalan inkonstitusional norma, karena itu nanti berkaitan dengan posita,” jelas Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menuturkan, Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan dengan menimbang nasihat para hakim konstitusi atau tidak. Pemohon diberikan waktu untuk menyampaikan berkas perbaikan permohonan sampai Senin, 5 Februari 2024. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina