JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan untuk Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 menyoal uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Senin (22/1/2024). Permohonan diajukan oleh Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan. Agenda siding hari ini yakni mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan para Pemohon.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon menyebutkan bahwa keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam setiap persidangan di DPR merupakan representasi regional dalam rangka memperjuangkan aspirasi daerah. Termasuk dalam mengajukan berbagai RUU terkait dengan otonomi daerah, atau yang berdampak terhadap kepentingan daerah dalam mengurus urusan rumah tangganya. Namun dalam beberapa hal, pemerintah pusat cenderung menghindar untuk melibatkan DPD dalam membahas bersama suatu undang-undang, seperti dalam kasus UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 ini.
Menurut Djohan, sikap pemerintah yang demikian sejalan dengan politik hukum resentralisasi atau de-otonomisasi yang sedang ditabuh atau dimainkannya. Sikap ini, sambung Djohan, perlu sekali dikoreksi karena bertentangan dengan amanah konstitusi yang menghendaki otonomi daerah seluas-luasnya dan spirit reformasi 1998 yang menuntut otonomi daerah diberi ruang agak lapang dalam sistem NKRI.
“DPD hadir guna dapat menyuarakan kepentingan daerah yang dijamin oleh konstitusi. Absennya DPD bisa menjadi cacat formil karena pelanggaran terhadap hukum konstitusi. Kehadiran DPR tidak bisa menggantikan DPD yang rekrutmennya dari perseorangan atau independen ini, karena DPR adalah lembaga representasi politik yang berbasis dapil, di mana keputusan dalam pembuatan UU lebih ditentukan oleh suara fraksi berdasarkan arahan pimpinan partai politik,” jelas Djohan.
Akibat Hukum Ketiadaan DPD
Sementara itu, Laica Marzuki selaku ahli hukum memberikan keterangan mengenai akibat hukum dari ketidakterlibatan DPD RI dalam pembentukan UU Kesehatan. Bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, maka menurut hukuk Pasal 1 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah merumuskan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam NKRI. Tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembentukan UU Kesehatan ini maka hal ini bukan saja mematikan otonomi daerah tetapi juga merugikan kedudukan dan kepentingan tenaga medis yang secara populasi tersebar di wilayah NKRI.
“Para Pemohon pernah hadir dalam RDP Komisi IX, namun hanya dimintakan masukan. Kedudukan dan kepentingan selaku organisasi profesi dihapus dalam inventaris masalah yang diajukan pemerintah kepada DPR RI. Secara konstitusional, pembentukan UU Kesehatan ini yang tidak melibatkan DPD dalam pembahasannya menjadikan UU Kesehatan tersebut harus dipandang tidak berlaku lagi,” jelas Laica dalam sidang yang dihadiri secara daring.
Dampak UU Kesehatan
Zainal Muttaqin selaku Saksi yang dihadirkan Pemohon menceritakan bagaimana kritik terkait rancangan penyusunan UU Kesehatan yang disampaikan melalui media elektronik. Tulisan-tulisan yang disampaikan Zainal dalam media tersebut memberikan masukan pada kebijakan pemerintah. Namun hal itu justru berdampak pada pemberhentian dirinya.
Sementara Budi Djanu Purwanto sebagai Ketua PAFI (Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) memberikan kesaksiannya menceritakan pernah diundang Baleg DPR RI untuk memberikan pandangan dan masukan terkait RUU Kesehatan. Namun pada saat itu tidak ada diskusi, pertanyaan, dan pendapat.
“Selanjutnya kami juga diundang pada Panitia Kerja Komisi IX DPR RI tentang RUU Kesehatan sama halnya dengan di Baleg, dengan masukan dan materi yang sama dan tidak ada pertanyaan, tanggapan, atau diskusi. Bahkan kami tidak mendapat dokumen naskah akademik dan RUU Kesehatan. Padahal di luar sudah beredar dan menurut keterangan di Baleg tersebut mereka tidak mengetahui yang mengedarkan itu. Pada kesempatan ketiga, kami diundang oleh Dirjen Tenaga Kesehatan dalam undangannya ada naskah akademik dan RUU. Setelah dibaca, ada istilah tenaga teknik kefarmasian, namun tidak ada penjelasan. Kami pun memberikan masukan pada saat itu, tetapi hal itu hanya sekadar dicatat dan tidak ada diskusi atas apa yang disampaikan pada saat itu. Dan saat menjadi UU malah berubah, sehingga berdampak pada lulusan program akademik yang tidak bisa melakukan praktik karena dalam UU tersebut disyaratkan lulusan jenjang akademik harus melanjutkan hingga profesi,” kisah Budi.
Kemudian Sugeng Eko Irianto sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) memberikan kesaksian mengenai keterlibatan pihaknya dalam enam kali undangan yang dihadirinya saat penyusunan RUU Kesehatan. Akan tetapi, sambung Sugeng, masukan-masukan yang disampaikan saat rapat-rapat tersebut tidak disertakan pada UU Kesehatan yang disahkan oleh pembentuk undang-undang.
Baca juga:
Cacat Formil UU Kesehatan Versi Organisasi Profesi
Lima Organisasi Profesi Medis Perbaiki Uji Formil UU Kesehatan
Sidang Uji Formil UU Kesehatan: DPR Tak Hadir, Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan
Pembentukan UU Kesehatan untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat
PDSI dan P2KPK Ungkap Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan UU Kesehatan
DPR Ungkap Keterlibatan Organisasi Profesi dalam Pembentukan UU Kesehatan
Sebagai tambahan informasi, Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan, mengajukan pengujian formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke MK. Kelima organisasi profesi medis dan kesehatan dimaksud yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V).
Dalam sidang perdana pengujian formil UU Kesehatan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 yang digelar di MK pada Kamis (12/10/2023), Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti. Termasuk mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation).
Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ “jantung” organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik” pemerintah). Pasal 451 UU Kesehatan menyatakan, “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.”
Cacat Formil
Pada alasan permohonan para Pemohon menilai UU Kesehatan mengalami cacat formil. Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.