JAKARTA, HUMAS MKRI – Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja yang menguji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) memperbaiki permohonan. Hal ini disampaikan oleh M. Imam Nasef yang menjadi kuasa hukum Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja sebagai Pemohon Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023. Sidang Perbaikan Permohonan ini digelar pada Senin (22/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Imam menyebut beberapa perbaikan yang dilakukan sesuai dengan saran Panel Hakim, di antaranya mengurangi jumlah klister/isu dalam UU Cipta Kerja yang diuji. Jika semula para Pemohon memohon pengujian sebanyak 12 klaster/isu dalam UU Cipta Kerja, maka dalam perbaikan permohonan, para Pemohon mengurangi hanya tujuh klaster/isu yang diuji.
“Tujuh isu ini yang kami sampaikan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya,” ucap Imam di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Selain itu, para Pemohon juga mengurangi jumlah pasal yang diujikan semula 50 pasal yang diuji, menjadi 35 pasal dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, para Pemohon mengubah dalil-dalil dalam pokok permohonan. Semisal, dalil Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap mengubah ketentuan Pasal 42 UU 13/2003 mengenai pengaturan tentang proses rekrutmen dan penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian, hak untuk untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: Partai Buruh dan Serikat Pekerja Uji 12 Klaster UU Cipta Kerja
Sebelumnya, para Pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial. Para Pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Para Pemohon dalam 93 poin petitum antara lain meminta MK menyatakan tanda baca “titik koma (;)” dan kata “atau” setelah frasa “lembaga pelatihan kerja swasta” dalam Pasal 81 angka 1 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi: “b. lembaga pelatihan kerja swasta”. Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 3 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum”. (*)
Penulis: Fauzan F./L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina.