JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 157/PUU-XXI/2023 memperbaiki permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perbaikan permohonan yang diajukan oleh tiga mahasiswa yaitu Michael Munthe, Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang, ini disampaikan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, (15/1/2024).
Sebelumnya mereka menguji Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam perbaikan permohonan, Pasal 3 UU Tipikor tak disertakan Kembali alias dihapus. Mereka justru menambahkan pengujian Pasal 15 ayat (1) huruf a Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU P3).
“Muatan Pasal 3 yang diuji sudah dihapus semuanya, di dalam permohonan itu sudah tidak ada,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Risky Kurniawan, dalam sidang perbaikan permohonan yang diikutinya secara daring.
Sidang Panel dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Danies Yusmic P Foekh. Suhartoyo mengatakan, perkara ini akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk dibahas kelanjutannya.
Baca juga:
Pemohon: Koruptor Harus Dihukum Mati
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Nomor 157/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh tiga mahasiswa yaitu Michael Munthe, Teja Maulana Hakim, dan Otniel Raja Maruli Situmorang. Michael Munthe adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian Teja Maulana Hakim dan Otniel Raja Maruli Situmorang, keduanya merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam. Para Pemohon mengujikan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), UU Tipikor dan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU P3.
Dalam sidang perdana yang dilaksanakan di MK pada Senin (18/12/2023), Para Pemohon menjelaskan, ancaman pidana mati tidak dicantumkan langsung dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Ancaman pidana mati bagi pelaku pidana korupsi baru bisa dijatuhkan apabila telah memenuhi syarat dalam keadaan tertentu sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
“Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor melindungi pelaku tindak pidana korupsi dari pidana mati,” ujar kuasa Pemohon, Albert Ola Masan Setiawan Muda didampingi Risky Kurniawan yang sama-sama mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
Albert lebih lanjut mengatakan, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor melindungi pelaku tindak pidana korupsi dari pidana mati karena sepanjang perbuatan pelaku tidak masuk dalam rumusan “Yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter” meskipun terbukti telah menimbulkan kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah yang luar biasa besar, pelaku tindak pidana korupsi tersebut tidak dapat dijatuhkan pidana mati, sedangkan terhadap jumlah kerugian negara yang luar biasa besar tersebut, jika dana tersebut tidak dikorupsi sehingga dapat diselamatkan dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak kontitusional warga negara termasuk hak-hak konstitusional Para Pemohon.
Menurut para Pemohon, hukuman pidana mati harus dijatuhkan langsung kepada pelaku agar menimbulkan efek jera yang kuat. Menurutnya, keamanan kejahatan sering diabaikan karena kejahatan tidak ditanggapi dengan serius dan tidak mendapat perhatian publik. “Beberapa cenderung hilang tiba-tiba dan juga mendapatkan pengampunan,” tutur dia.
Dalam petitum yang telah diperbaiki, para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonnya. Selanjutnya, mereka meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Kemudian, para Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum. Sementara, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang atau Putusan Mahkamah Konstitusi…”
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.