JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasal 33 UUD 1945 merupakan anugerah yang luar biasa bukan hanya bagi bangsa Indonesia, namun juga seluruh dunia, terutama menghadapi krisis energi akibat perubahan iklim dan transisi energi. Namun, sayangnya, Pasal 33 UUD 1945 tersebut telah “digerogoti” oleh privatisasi.
Keterangan ini disampaikan oleh Shaun Sweeney yang merupakan Direktur Program Internasional untuk Perburuhan, Iklim, dan Lingkungan Hidup Fakultas Perburuhan dan Studi Perkotaan The City University of New York dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 38 dan 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Senin (15/1/2024). Perkara Nomor 39/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh 10 serikat pekerja yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali dan 109 perseorangan lainnya.
“Sebagai cara untuk melakukan cara transisi yang adil, terkait dalam dua poin. Pertama kebijakan akan menyebabkan hilangnya kendali akibat kebijakan tersebut. Kedua ada opsi alternatif yang sesuai dan mematuhi Pasal 33 UUD 1945,” jelas Shaun yang hadir dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Shaun menambahkan, kegagalan kebijakan untuk mengaplikasikan Pasal 33 UUD 1945 adalah karena adanya ketergantungan yang berlebihan pada investasi swasta dan perusahaan-perusahaan swasta dalam rangka mempercepat atau mengakselerasi transisi tersebut. Ia juga mengungkapkan ada korelasi antara kebijakan dan pengelolaan sumber daya, terutama terkait perusahaan unbudling dari sektor dari ketenagalistrikan. Menurutnya, kebijakan privatisasi ini dikembangkan oleh Bank Dunia pada 1990-an dengan imbalan bantuan dana.
“Ini kebijakan untuk mendorong privatisasi untuk beberapa negara dunia, yang memakai dana pembangunan sebagai senjata kohersif. Dengan kata lain, kebijakan tersebut dapat diterima oleh negara dengan disertai adanya bantuan dana (dari Bank Dunia),” papar yang juga hadir sebagai Ahli Pemohon.
Skema Alternatif
Kemudian hadir dari Nusyirwan selaku ahli lainnya yang dihadirkan oleh Pemohon. Menurutnya, PT PLN (Persero) dengan sumber daya manusia dan pengalaman yang dimilikinya sangat mampu untuk menyediakan energi Listrik yang handal dengan harga terjangkau bagi masyarakat dan negara harus mendukung itu dengan kebijakan yang tidak semakin bergantung kepada negara membeli Listrik swasta/IPP.
Sebagaimana amanat Konstitusi, sambungnya, penguatan PLN dapat skema kepemilikan pembangkit haruslah secara komprehensif dan utuh dilakukan. Skema holding yang saat ini dilakukan sangatlah tanggung karena relatif hanya menyasar anak Perusahaan yang selama ini memang mash dalam rentang kendali PT PLN (Persero).
“Sebagai BUMN Ketenagalistrikan yang diamanatkan Konstitusi dalam penyediaan Listrik, sudah sewajarnya berbagai pembangkit yang pada faktanya juga dihasilkan oleh BUMN dan BUMD lainnya menjadi bagian holding dan kepemilikan dalam bisnis PT PLN (Persero) sehigga fungsi pelayanan publik oleh negara dalam penyediaan Listrik oleh BUMN Ketenagalistrikan dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” terang Nusyirwan.
Kemudian, dalam sidang yang sama, turut hadir Hakim Konstitusi periode 2003 – 2009 Maruarar Siahaan yang juga menjadi Ahli Pemohon menyebut permohonan pemohon beralasan untuk dikabulkan. Ia menjelaskan, UUD 1945 dengan Pancasila dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa menjadi sumber kebijakan pemerintahan, hukum, sosial dan ekonomi menuntut kepatuhan sebelum diubah. Selain itu, interpretasi konstitusi menempatkan batas pada cita-cita proklamasi dalam pembukaan UUD 1945.
Harus Dikuasai Negara
Sementara itu, Pihak Terkait, yakni Adi Pratomo, dalam paparannya menegaskan listrik sebagai public utilities atau perusahaan utilitas publik harus dikuasai oleh negara karena apabila perusahaan utilitas publik ini tidak berada penguasaannya pada negara justru akan menghilangkan esensi dari kepentingan umum itu sendiri.
“Dalam penguasaan public utilities, negara tidak memiliki pilihan lain selain melakukan penguasaan yang dominan dibandingkan dengan perusahaan swasta, negara harus mengatur penyediaannya, mengatur mekanisme pengadaannya bahkan tarif listrik agar seluruh lapisan masyarakat dapat menjangkau listrik dengan harga terjangkau, sebab jika penguasaan public utilities diberikan pada perusahaan swasta yang terjadi perusahaan swasta akan mengambil profit yang besar dalam penyediaan listrik, implikasinya yang akan diuntungkan adalah pemilik modal (perusahaan swasta) dan yang terjadi adalah kerugian-kerugian kesejahteraan sosial pada masyarakat,”tegasnya.
Adi menjelaskan, cabang produksi penting bagi negara—dalam hal ini tenaga listrik—harus dikuasai negara yang dimaknai tidak cukup negara hanya menjalankan kewenangan dan penetapan kebijakan dan pengawasan. Karena, tambahnya, tenaga listrik mempunyai sifat yang khusus dibandingkan produk lain, pengadaannya memerlukan waktu yang lama dan bersifat kompleks sementara dengan kondisi Indonesia yang mash banyak masyarakat kurang mampu, negara haruslah bersifat mendominasi dalam penguasaannya dalam arti pengelolaannya maupun pengadaannya.
“Karena apabila tidak dikuasai secara dominan oleh negara maka negara tidak dapat menentukan atau memutuskan seperti apa kehendak negara atas penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak cukup negara hanya menjalankan kewenangannya dengan pengaturan dan pengawasan semata. Penguasaan negara tidak cukup hanya dengan mengatur perekonomian, namun penguasaan oleh negara haruslah diartikan pada pengelolaan secara dominan oleh negara melalui badan usaha milik negara dalam hal ini PT. PLN (Persero), yang selanjutnya pengelolaan tersebut dioritasikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tandasnya.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui putusan MK 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan putusan perkara 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketanagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina