JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Hakim Konstitusi memberikan tafsir baru penyidik dalam tindak pidana sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Angka 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Menurut Majelis Hakim Konstitusi, penyidik dalam tindak pidana sektor jasa keuangan dapat dilakukan tak hanya oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun juga oleh penyidik pada instansi lain yang memperoleh kewenangan untuk melakukan penyidikan berdasarkan suatu undang-undang secara khusus sepanjang tetap berkoordinasi dengan Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pada instansi lain yang memperoleh kewenangan untuk melakukan penyidikan berdasarkan suatu undang-undang secara khusus dalam pelaksanaan tugasnya sepanjang tetap berkoordinasi dengan Penyidik Polri adalah hal yang dapat dibenarkan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan Putusan Nomor 59/PUU-XX/2023 yang dimohonkan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V), dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI).
Selanjutnya, Arief menyampaikan frasa “hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 8 Angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas Pasal 49 ayat (5) UU P2SK inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”
Lebih jelas lagi, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan kewenangan penyidikan OJK pada tindak pidana di sektor jasa keuangan yang diatur pada norma tersebut telah memberikan batasan terhadap keberadaan penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri) sekaligus berakibat pada pengingkaran kewenangan Polri sebagai lembaga penegak hukum yang berfungsi sebagai penyidik utama. Di samping itu, hal ini juga tidak sejalan dengan substansi Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sepanjang berkoordinasi dengan penyidik Polri. Ditambah pula, hal demikian berpotensi pada hilangnya kewenangan penyidikan oleh Kepolisian dalam tindak pidana umum dan/atau tindak pidana tertentu teramasuk tindak pidana pada sektor jasa keuangan.
“Berdasarkan pertimbangan hukum hal tersebut, telah ternyata ketentuan Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat perubahan atas frasa ‘hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan” dalam Pasal 49 ayat (5) UU P2SK bertentangan dengan prinsip negara hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945,” ucap Arief dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra serta tujuh hakim konstitusi lainnya.
Penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon atas Pasal 8 angka 21 UU P2SK yang memuat frasa “pegawai tertentu” dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU P2SK, Mahkamah menyatakan bahwa penyidik dalam proses penegakan hukum memiliki peran sentral dan strategis. Sehingga dalil mengenai tidak boleh ada penyidik selain yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP tidaklah tepat. Sebab, sambung Arief, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja. Melainkan juga dapat dilakukan oleh lembaga lain di luar lembaga penegak hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum.
Dengan kata lain, baik itu Kepolisian maupun lembaga lain memiliki kewenangan penyidikan dengan tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan undang-undang. Artinya sekalipun undang-undang memerikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan tersebut tidak boleh mengabaikan penerapan sistem peradilan pidana terpadu. Prinsip tersebut dapat dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik yang bukan penegak hukum dari lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Polri.
Sehingga akan adanya keterbatasan kemampuan untuk melakukan penyidikan hanya sampai tingkat provinsi dan keterbatasan jumlah penyidik OJK, maka OJK harus tetap bersinergi dengan Kepolisian yang memiliki jumlah penyidik dan infrastruktur yang lebih memadai serta mampu menjangkau seluruh Indonesia. Maka, kekahwatiran para Pemohon akan adanya penambahan ‘pegawai tertentu’ yang dianggap menimbulkan persoalan hukum dalam praktik penegakan hukum pidana merupakan kekhawatiran yang berlebihan. Sebab, untuk menghadapi kompleksitas penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan, OJK perlu meningkatkan profesionalitas pegawainya dengan memberikan kompetensi khusus guna lebih memahami teknik-teknik penyidikan.
“Dengan demikian, pemberian kewenangan penyidikan kepada penyidik pada instansi lain yang memperoleh kewenangan untuk melakukan penyidikan berdasarkan suatu undang-undang secara khusus dalam pelaksanaan tugasnya, sepanjang tetap berkoordinasi dengan Penyidik Polri adalah hal yang dapat dibenarkan,” tegas Arief dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK.
Untuk itu, dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah menyatakan Menyatakan ketentuan norma Pasal 8 angka 21 UU P2SK sepanjang frasa "hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan" dalam Pasal 49 ayat (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”.
“Sehingga norma Pasal 8 angka 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang memuat perubahan dalam Pasal 49 ayat (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan selengkapnya berbunyi ‘Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan’,” tandas Suhartoyo.
Baca juga:
Kewenangan Penyidikan Tunggal kepada OJK Dipertanyakan
DPR dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Soal Penyidik Tunggal OJK
Urgensi Penyidik OJK Dalam Pandangan DPR dan Presiden
Polri dan OJK Jelaskan Ranah Penyidikan Sektor Jasa Keuangan
Eksistensi Kewenangan OJK Dipertanyakan
Penyidik Tunggal OJK Mereduksi Kewenangan Polri
Sebagai tambahan informasi, para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK. Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.
Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim