JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 pada Kamis (21/12/2023). Permohonan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.
Agenda sidang yaitu pemeriksaan pendahuluan. Para Pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial.
M. Imam Nasef selaku salah satu kuasa hukum para Pemohon mengatakan, penambahan frasa “lembaga pelatihan kerja perusahaan” dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU 6/2023 telah menyamarkan tujuan diselenggarakannya pelatihan kerja yaitu untuk membekali, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan (vide Pasal 9 UU 13/2003) yang akan lebih terjamin pelaksanaannya apabila dilakukan oleh Lembaga Pelatihan Kerja Pemerintah maupun Swasta.
“Dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil makmur itu terwujud dengan adanya Lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan, apalagi hanya diberikan syarat cukup “mendaftar”, akan menyulitkan kontrol Negara terhadap lembaga tersebut, karena diselenggarakan internal perusahaan yang merupakan pemberi kerja itu sendiri, sehingga rentan akan timbulnya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Perusahaan. Bahwa kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum atas penyelenggaraan pelatihan kerja yang merupakan kewajiban dari Pengusaha.” sampai Imam di hadapan sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Pada klaster Waktu Kerja, kuasa hukum Allan F.G Wardhana mendadilkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 81 angka 23 UU 6/2023 yang mengubah penjelasan Pasal 77 UU 13/2003. Keberadaan pasal tersebut yang membuka ruang fleksibilitas bagi pengusaha untuk mengatur waktu bekerja berpotensi menempatkan tenaga kerja dalam waktu bekerja yang tidak menentu, bahkan berlebih dan eksploitatif sehingga tidak mencerminkan adanya pekerjaan yang layak bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
“Kemudian terkait dengan konstitusionalitas ketentuan Pasal 81 angka 24 UU 6/2023 bahwa keberadaan pasal a quo yang membuka ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan tenaga kerja dalam masa waktu kerja yang tidak ramah dan terlalu lama, berpotensi mengakibatkan tenaga kerja tidak memiliki waktu istirahat yang cukup untuk memulihkan kebugarannya serta untuk mengurus keluarganya sehingga tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja dan oleh karenanya bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945” lanjut Allan.
Oleh karena itu, Para Pemohon dalam 93 poin petitum antara lain meminta MK menyatakan tanda baca “titik koma (;)” dan kata “atau” setelah frasa “lembaga pelatihan kerja swasta” dalam Pasal 81 angka 1 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi: “b. lembaga pelatihan kerja swasta”.
Kemudian menyatakan Pasal 81 angka 3 UU 6/2023 yang mengubah dan memuat ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum”.
Nasihat Panel Hakim
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengawali nasihatnya dengan memberi apresiasi permohonan ini. Guntur melihat permohonan disusun dengan lengkap dan serius. Namun demikian, Guntur dalam catatan nasihatnya mengatakan para Pemohon sebaiknya fokus pada isu yang akan diajukan dalam permohonan.
“Saya apresiasi karena permohonan dibuat serius dan tuntas. Tapi ada kelemahannya karena menjadi kurang fokus dan juga membuat terpecah pada isu-isu yang dijadikan prioritas. Menurut hemat saya, kenapa tidak dipecah dari berbagai permohonan berdasarkan isu-isunya,” kata Guntur.
Menurut catatan Guntur, dalam permohohan ini terdapat 12 klaster, tiga pasal, dan 50 norma UU Cipta Kerja yang diujikan. “Pasalnya memang ada 3, tapi ada 50 norma undang-undang yang saudara minta diuji. Saya catat, mengkaji, menilai, dan menguji, ada 12 klaster dalam Undang–Undang Ciptaker dibabat habis ini,” lanjut Guntur.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams turut memuji permohonan menyebutkan permohonannya telah memenuhi syarat yang jadi panduan di PMK No.2 tahun 2022 terkait tata cara berperkara di MK “Dari sisi PMK (No.2 tahun 2022) sudah terpenuhi dimana identitasnya diuraikan sampai 20 halaman, kewenangan Mahkamah sampai 14 halaman, legal standing 198 halaman, pokok permohonanan 188 halaman, petitum sampai 27 halaman berjumlah 93 petitum. Ini mendukung apresiasi saya” sampai Wahiduddin Adams.
Wahiduddins Adams juga memberikan saran untuk pemohon pertimbangan kembali isu yang urgensinya lebih penting agar keadilan bagi para Pemohon tidak tertunda. “Andai kata nanti permohonan ini masuk ke (sidang) pleno, ini akan banyak memakan waktu lama juga, misalnya DPR ataupun Pemerintah akan dimintakan keterangan maupun ahli, apalagi waktu dekat MK akan menghadapi sengketa pemilu. Coba dipikirkan isu penting dan mendesak, jangan sampai keadilan (Pemohon) tertunda yang nantinya akan panjang persidangannya,” jelas Wahid
Adapun Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tak ketinggalan memberikan nasihat untuk lebih fokus ke isu yang mau diajukan. “Ada baiknya saudara fokus kepada isu yang saudara rasa ada kerugian aktual. Nah itu harus dibuktikan dan dipecah per isu. Paling tidak, ada kejelasan soal batu uji.”
Lanjutnya catatan mengenai petitum yang dibuat pemohon perlu ada penegasan yang konkret. “Terus terang (tebalnya) bacaan saya banyak catatan saya yang kontradiktif terutama di petitum.” Jelas Enny
Sebelum mengakhiri persidangan, Enny menyebutkan para Pemohon diberikan waktu hingga awal tahun 2024 untuk memperbaiki permohonan. Naskah permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 3 Januari 2023 pukul 09.00 WIB. Untuk selanjutnya agenda sidang akan diinformasikan lebih lanjut kepada para Pemohon.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.