JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (20/12/2023). Permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz.
Agenda sidang yaitu mendengar keterangan saksi. Pemohon menghadirkan saksi bernama Ngadinah yang pernah bekerja di perusahaan pabrik Sepatu di Tangerang, sejak 1995 sampai dengan 2004.
“Besaran upah bagi pekerja industri sepatu yang termasuk dalam kualifikasi industri padat karya, maka upah yang diterima saksi tidak lebih dari upah minimum, kecuali perusahaan menyuruh untuk bekerja lembur. Selama bekerja di pabrik sepatu, perusahaan melakukan pelanggaran normatif, seperti hak cuti haid yang tidak diberikan, kebebasan berserikat, dan lainnya,” terang Ngadinah dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
Ngadinah berkisah pada 1999 ia bergabung dengan Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu (Perbupas). Di Perbupas Ngadinah dipercaya menjadi Sekretaris. Pada September 2000, Ngadinah bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja selama empat hari menuntut agar perusahaan memberikan hak kebebasan berserikat, hak cuti haid, uang makan, dan pemberian uang pesangon apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kemudian pada 23 April 2001 Ngadinah ditahan di LP Tangerang atas tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan menghasut. Ngadinah ditahan selama 29 hari dan kemudian diputus bebas oleh Pengadilan.
“Saksi pernah mendampingi teman-teman buruh di Jakarta Utara yang berjumlah 41 orang. Mereka mengalami pemutusan hubungan kerja hingga ke pengadilan hubungan industrial, karena mendirikan serikat buruh di tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Selama dua tahun memperjuangkan hak-haknya dengan menolak pemutusan hubungan kerja dan sudah tidak pernah diberikan upah, mereka bekerja serabutan agar tetap bisa bertahan hidup,” terang Ngadinah.
Untuk bisa datang sidang ke pengadilan, lanjut Ngadinah, para buruh mengumpulkan hasil kerja serabutan agar bisa membayar panjar biaya pengadilan. Walau tidak semua buruh bisa patungan, tetapi bagi para buruh yang saat itu sedang tidak bekerja, maka sekecil apa pun uang yang mereka kumpulkan adalah hasil dari menghemat makan sehari-hari.
“Bagi buruh, seperti yang saksi lihat sendiri, mengumpulkan uang untuk membayar biaya perkara di pengadilan adalah dengan mengurangi atau menyisihkan biaya makan sehari-hari dari pekerjaan yang serabutan. Bahkan ada juga yang menjual barang miliknya, agar kasusnya bisa ditangani oleh pengadilan,” kisah Ngadinah.
Baca juga:
Karyawan Swasta Persoalkan Biaya Perkara Gugatan PHI
Karyawan Swasta Perbaiki Uji Biaya Perkara Gugatan PHI
Pemerintah: Tidak Terdapat Persoalan Konstitusional dalam Uji Materi UU PPHI
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz. Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 82 dan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI.
Selengkapnya Pasal 82 UU PPHI menyatakan, “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.
Kemudian Pasal 97 UU PPHI menyatakan, “Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Rabu (6/9/2023), Pemohon menerangkan bahwa pengaturan masa daluwarsa satu tahun atas gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana diatur dalam pasal 82 UU PPHI adalah untuk alasan PHK yang dimaksud pada Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Biaya Perkara PHI
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 58 UU PPHI menyebutkan, proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Apabila Pemohon hendak mengajukan gugatan perselisihan PHKJ ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan nilai gugatan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah), maka Pemohon akan dikenakan biaya perkara yang besarannya telah ditetapkan oleh Pengadilan sebagai panjar biaya perkara.
Setelah Pemohon membayar panjar biaya perkara, kemudian terhadap gugatan Pemohon lalu oleh Pengadilan Hubungan Industrial dijatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan Pemohon dan menetapkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak Pemohon, sehingga pengusaha berada pada pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara karena nilai gugatannya di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkekuatan hukum tetap dan pengusaha bersedia secara sukarela melaksanakannya, akan tetapi yang dilaksanakan hanyalah membayar hak-hak Pemohon berupa uang kompensasi PHK. Padahal, pengusaha sebagai pihak yang kalah juga dihukum untuk membayar biaya perkara, namun pengusaha tidak bersedia membayar atau mengganti biaya perkara yang pada saat gugatan diajukan telah dibayar oleh Pemohon sebagai Penggugat dalam bentuk panjar biaya perkara.
Dengan demikian, apabila Pemohon menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial dan membayar panjar biaya perkara, kemudian gugatan tersebut dikabulkan, maka Pemohon yang kedudukannya sebagai Penggugat akan kehilangan panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat gugatan didaftarkan akibat kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial tidak menyebutkan pihak yang menerima pembayaran biaya perkara dimaksud.
Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai, putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih
dahulu.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Editor: Tiara Agustina.