JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/12/2023). Sidang Perkara Nomor 162/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Djunatan Prambudi, warga Kota Surabaya yang berprofesi wiraswasta.
Djunatan Prambudi (Pemohon) mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 21 ayat (1) UU MIG yang berbunyi, “Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”. Sedangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menyebutkan, “Yang dimaksudkan dengan ‘persamaan pada pokoknya’ adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan kerentanan berbagai pihak mengajukan gugatan pembatalan merek apabila adanya persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dimiliki merek orang lain atau justru lebih parah adanya pihak yang dirugikan akibat peniruan dalam penamaan merek, kemudian menggugat akan tetapi putusan tersebut ditolak oleh hakim, sehingga menimbulkan kerentanan dalam persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini dialami Pemohon.
Pemohon juga memohon untuk mengkaji ulang putusan MK yang diuji tahun 2022 perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 “Berkenaan dengan putusan 50 ini mohon untuk dikaji ulang karena (tahun) kemarin ada kesalahan menyangkut masalah di dalam legal standing dan kewenangannya,” kata kuasa hukum Pemohon, Tejo Hariono.
Pemohon pun mengungkapkan kasus konkret, yaitu adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGA.JKT.OST dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 PK/Pdt.Sus-HKI/2021. Dalam putusan tersebut permohonan gugatan yang dilakukan penggugat ternyata ditolak. Pihak yang bersengketa yaitu PUMA SE sebagai penggugat dan PUMADA sebagai tergugat.
Penggugat adalah pendaftar pertama di dunia dan pemilik yang sah atas merek PUMA dan variannya sudah diakui di seluruh dunia. Lebih lanjut PUMADA atas nama tergugat memiliki persamaan pada pokoknya atas keseluruhannya dengan merek PUMA dan variannya milik penggugat.
Setelah Majelis Hakim mencermati kedua merek tersebut dapat disimpulkan bahwa antara merek “PUMA” milik penggugat dengan merek dagang “PUMADA” milik tergugat terdapat daya pembeda antara merek milik penggugat dengan merek milik tergugat. Perbedaan ada pada huruf “DA” tanpa spasi, adanya perbedaan susunan penulisan. Sehingga dengan adanya perbedaan tersebut maka timbul adanya perbedaan dalam hal tampilan, pengucapan, penempatan, maupun perbedaan bunyi ucapan sehingga merek-merek tersebut tidak dapat dikatakan memiliki persamaan pada pokoknya karena untuk membandingkan suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau tidak, merek yang diperbandingkan tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan atau satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dilihat secara satu persatu.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 UU MIG bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” untuk diubah menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”.
Tidak Lazim
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai permohonan Pemohon banyak poin yang tidak lazim. Salah satunya hukum acara MK, dan Putusan MK yang bersifat erga omnes.
“Peradilan Mahkamah adalah peradilan yang melakukan judicial review terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Jadi tidak mengadili peristiwa-peristiwa konkret, yang diadili adalah norma sehingga putusan Mahkamah Konsititusi bersifat erga omnes,” terang Arief.
Arief juga menyoroti surat kuasa. “Coba diperhatikan, surat kuasa yang lazim, memberikan kuasa kepada para kuasa hukum, baik sendiri-sendiri maupun bersama,” kata Arief menasihati.
Selanjutnya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menasihati Pemohon agar lebih diperkuat hubungan sebat akibat antara pasal yang diuji dengan kedudukan hukum pemohon. “Tolong dielaborasi kembali, jadi (dalam kedudukan hukum) tidak terlalu umum yang hanya menjelaskan Pemohon warga negara Indonesia, wiraswasta. Adakah keterkaitan dengan ketentuan pasal 21 ayat 1,” ucap Guntur.
Sementara Ketua Panel Hakim Enny Nurbaningsih menyoroti adanya isu menarik pada frasa “adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya”.
“Sesungguhnya saya yakin isu ini menarik, ada frasa mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya asalkan pengungkapan, penyusunan dan perumusannya menyesuaikan dengan PMK 2 tahun 2021 dan contoh permohonan di laman web MK yang bisa dibaca,” kata Enny.
Lainnya, Enny menanggapi masalah “perihal” dalam permohonan. “Dari ‘perihal’ saja sudah tidak jelas dan tidak konsisten apa sesungguhnya yang dimohonkan. Kemudian tidak boleh dicampuradukkan di kewenangan Mahkamah sampai dimasukkan ne bis in idem,” tandas Enny.
Panel Hakim pun memberikan waktu sampai awal tahun 2024 di hari kerja bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. Selambatnya perbaikan permohonan harus diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada 2 Januari 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.