JAKARTA, HUMAS MKRI - Yuliantoro dalam permohonan Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023 dan Saiful Salim dalam permohonan Perkara Nomor 160/PUU-XXI/2023 mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana terhadap kedua permohonan ini dilaksanakan di MK pada Selasa (19/12/2023) oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan, “… q. Berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Yulianto dalam permohonan Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023 menilai pasal yang telah dimaknai MK tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18B ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Yulianto yang hadir langsung di Ruang Sidang Panel MK menjelaskan bahwa pembentukan norma “pemilihan kepala daerah” yang ada pada pasal yang diujikan tersebut menimbulkan problematik hukum. Sebab tidak ada undang-undang yang secara tegas mengatur pemilihan kepala daerah. Satu-satunya norma yang mengatur hanya UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Akibatnya pasal yang telah dimaknai tersebut mengandung unsur hukum yang tidak jelas sehingga perlu ada penegasan norma hukum yang benar.
“Pemaknaan norma hukum menjadi penting karena akan menentukan legitimasi sebuah undang-undang yang dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan kedaulatan di tangan rakyat. Maka, penempatan dan penggunaan frasa baru dalam Putusan MK tersebut patut diduga upaya penyelundupan norma hukum yang dilakukan secara sadar dan sengaja tanpa mempertimbangkan tata kelola pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota yang selama ini telah berjalan sehingga pembentukan norma tersebut hanya bertujuan memberikan hak khusus dan istimewa bagi kalangan tertentu yang pernah/sedang menduduki jabatan sebagai penyelenggara negara untuk dapat diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan mengesampingkan hak konstitusional penyelenggara negara lainnya,” jelas Yulianto.
Oleh karena itu, Yuliantoro dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”. Selain itu, Yuliantoro meminta MK agar mencabut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan dinyatakan tidak berlaku dengan segala akibat hukumnya.
Ketidakpastian Hukum
Sementara Saiful Salim dalam permohonan Perkara Nomor 160/PUU-XXI/2023 melalui kiuasa hukumnya, Eliadi Hulu, menyebutkan pasal yang telah dimaknai Putusan MK tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Pemohon menilai pasal tersebut memiliki penafsiran yang cukup luas karena belum memberikan pemaknaan yang rigid yang dapat diartikan bahwa pemilu bukan hanya pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dan atau kabupaten saja melainkan terhadap pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Oleh karenanya, Pemohon dalam petitum memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai oleh MK dalam Putusan Nomor. 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan gubernur yang dipilih melalui pemilihan umum”.
Kerugian Konstitusional
Terhadap kedua permohonan ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan Pemohon Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023 tidak mencantumkan isi dari Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 dan pasal yang dijadikan dasar pengujian. Selain itu, Guntur juga mempertanyakan bangunan argumentasi konstitusionalitas norma yang diuraikan oleh Pemohon masih belum selaras dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pasal yang diujikan.
Terhadap Pemohon 160/PUU-XXI/2023, Guntur mengatakan dalil kepastian hukum yang dimintakan oleh Pemohon telah terdapat pada Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023. Sehingga Pemohon diharapkan dapat memahami dan membaca dengan lengkap putusan tersebut yang telah memberikan jawaban atas perkara yang dimintakan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh juga memberikan narasi yang serupa yaitu menyarankan para Pemohon dari kedua perkara untuk membaca dengan saksama Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023. Sebab, pada putusan tersebut MK telah memberikan sikap dan menjawab atas kepastian hukum dari dalil-dalil mengenai pemaknaan pasal a quo pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Buatkan argumentasi baru dengan landasan filosofi dari Putusan 141/PUU-XXI/2023,” jelas Daniel kepada kedua Pemohon dan kuasanya.
Sebelum menutup persidangan, Wakil Ketua MK Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonannya. Untuk selanjutnya naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 2 Januari 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.