JAKARTA, HUMAS MKRI - Konstitusionalitas batas usia calon presiden dan wakil presiden kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum (UU Pemilu) sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 154/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan di MK pada Senin (11/12/2023), dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Permohonan kali ini diajukan oleh dua orang dosen dari Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Russel Butarbutar (Pemohon I) dan Utami Yustihasana Untoro (Pemohon II). Para Pemohon menyebutkan sikap hukum terkait syarat usia minimal capres-cawapres merupakan kewenangan pembuat undang-undang. Sehingga seharusnya MK konsisten dalam mengambil sikap dan hukum dalam memutus sebagaimana beberapa putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007 berkaitan dengan syarat usia minimal bagi calon kepala daerah; Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 berkaitan dengan batas usia minimal dan maksimal pimpinan KPK; dan Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan Mahkamah berpendapat produk legal policy pembuat undang-undang tidak dapat dibatalkan, kecuali jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan intolerable.
Selain itu, Russel menyebutkan sesuai Putusan MKMK Nomor 2-5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023 atas pelanggaran kode etik memiliki koherensi, signifikansi, dan/atau perwujudan dari pelanggaran formil dalam persidangan pemeriksaan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Oleh karenanya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pembentukan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Uji Formilkah?
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihat Majelis Sidang Panel ini mempertanyakan apakah yang diujikan oleh para Pemohon berupa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 atau uji formil atas pembentukan UU Pemilu yang diujikan. “Ini yang dimaksud apakah juga pengujian proses pembentukan dari undang-undang ini? Sebab kalau menguji Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 sudah ada Putusan MK 141/PUU-XXI/2023 yang memaknainya,” jelas Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memperjelas kepada para Pemohon tentang pengujian formil atas pasal 169 huruf q yang telah dimaknai MK pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Kemudian Daniel juga mencermati agar para Pemohon memberikan uraian tentang asas, teori, atau perbandingan dengan negara lain atas putusan yang sudah bersifat final dari Putusan MK dapat kembali diujikan.
Hal senada juga diminta oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Kepada para Pemohon, Saldi meminta para Pemohon memperjelas dasar hukum yang dapat menguatkan diujikannya kembali Putusan MK sebelumnya.
“Beri kami argumentasi teori, praktis, di mana di dunia ini ada yang mengujikan putusan pengadilan utamanya uji formil. Menyoal keberlakuan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 itu sudah dijelaskan pada Putusan 141/PUU-XXI/2023. Setelah membacanya, kami minta kepada para Pemohon untuk dijelaskan kepada kami apa saja doktrin hukum yang membenarkan uji formil atas putusan pengadilan itu. Ini khazanah baru juga, carikan kami perbandingannya di tempat lain,” jelas Saldi.
Pada akhir persidangan, Saldi menyebutkan para Pemohon diberikan waktu hingga 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 27 Desember 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.