JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian ketentuan ambang batas parlemen untuk perolehan kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Senin (11/12/2023). Sidang lanjutan Perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 124/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Sedianya, agenda sidang ini, yakni mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemohon, namun DPR masih dalam masa reses dan Ahli Pemohon— menurut laporan dan catatan Kepaniteraan MK—keterangan yang disampaikan tidak memenuhi ketentuan yang sudah diingatkan sebelumnya dua hari kerja sebelum persidangan.
“Baru hari jumat diterima, sehingga tidak mencukupi dua hari kerja itu. Oleh karena itu kami dari Majelis Hakim mengagendakan untuk mendengarkan ahli pada persidangan berikutnya,” ujar Suhartoyo.
Baca juga:
Menaikkan Nilai Ambang Batas Atas Capres-Cawapres
Perludem Perbaiki Permohonan Uji Ambang Batas Parlemen
Partai Ummat Pertegas Tolok Ukur Ambang Batas Parlemen
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, Pemohon perkara 116/PUU-XXI/2023 berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi. Menurut Pemohon, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan ketika pemilu di Indonesia menegaskan bahwa sistem pemilu legislatifnya menggunakan sistem proporsional, tetapi hasil pemilunya menunjukkan hasil yang tidak proporsional, karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen, artinya ada persoalan mendasar yang mesti dituntaskan di dalam sistem pemilu proporsional di Indonesia. Persoalan tersebut tentu saja berkaitan langsung dengan daulat rakyat sebagai fondasi utama dari penyelenggaraan pemilu, serta pemenuhan asas pemilu yang jujur dan adil di dalam Pasal 22E ayat (1), dan tentang adanya kepastian hukum di dalam sebuah regulasi penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan tentu saja berkaitan pula dengan prinsip negara hukum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Sedangkan permohonan Nomor 124/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Dewan Pengurus Pusat Partai Ummat yang diwakili oleh Ridho Rahmadi (Ketua Umum Partai Ummat) dan A. Muhajir (Sekretaris Jenderal Partai Ummat). Partai Ummat menguji Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (10/10/2023), kuasa hukum Partai Ummat, Muhammad Yuntri mempersoalkan tolok ukur 4% yang dijadikan batas untuk perolehan kursi anggota DPR pada UU Pemilu yang sekarang. Sebagai analogi, Muhammad Yuntri menyebutkan batas-batas yang ditetapkan untuk memeroleh kursi anggota DPR berdasar pemilu sebelumnya. Misalnya pada Pemilu 1999 menetapkan ambang batas 2%. Sementara pada Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, menerapkan ambang batas 3% untuk perolehan kursi anggota DPR dan 4% untuk kursi anggota DPRD Provinsi. Lain halnya dengan Pemilu 2009 yang mendasarkan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan ambang batas 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Menurut Partai Ummat, penentuan ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk diikutkan dalam penghitungan perolehan kursi DPR sebagaimana yang diatur Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, tidak hanya berdasarkan perolehan suara sah nasional. Sehingga perlu juga menjadikan perolehan akumulasi kursi DPR dari setiap daerah pemilihan (dapil) sebagai ambang batas parlemen. Sebab, harga kursi di dapil yang berada di luar pulau Jawa khususnya, jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga kursi di Pulau Jawa. Sistem ini sejatinya bentuk lain dari menjamin agar hasil pemilu lebih proporsional dalam koridor sistem pemilu yang diamanatkan UUD NRI 1945 dengan adil.
Oleh karena itu, Partai Ummat meminta MK menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional atau memperoleh 4% (empat persen) dari jumlah kursi DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha