JAKARTA, HUMAS MKRI - Majelis Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar Putusan Nomor 137/PUU-XXI/2023 menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) pada Rabu (29/11/2023). Permohonan diajukan oleh dua orang warga, yaitu Indra Afgha Anjani (warga Kota Batam) dan Amrin Esarey (Warga Kabupaten Bintan). Pengucapan putusan tersebut dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XXI/2023 mengatakan, para Pemohon mengemukakan beberapa pasal dalam UU Pengadaan Tanah bermasalah, utamanya yang mengatur perihal partisipasi masyarakat, konsultasi publik dan musyawarah, perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dan hilangnya hak masyarakat dalam mekanisme pelaporan keberatan. Namun Mahkamah melihat dalam permohonan para Pemohon tidak menguraikan pertentangan keseluruhan norma tersebut terhadap UUD 1945. Terlebih lagi, para Pemohon tidak melakukan elaborasi atas persoalan inkonstitusionalitas norma yang dimaksudkan sebagai karakter pokok dalam pengajuan perkara uji undang-undang di MK.
Andaipun terdapat uraian yang tersirat sebagai upaya membangun argumentasi yuridis normatif, sambung Guntur, namun argumentasinya masih bersifat sumir dan tidak meyakinkan sebagai argumentasi konstitusional. Sehingga permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Selain itu, Guntur juga menyebutkan bahwa petitum para Pemohon untuk menyatakan keseluruhan UU Pengadaan Tanah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak dapat menjelaskan persoalan inkonstitusionalitas yang dimaksudkannya. Sehingga, jika petitum para Pemohon dikabulkan justru menimbulkan ketidakpastian hukum berupa hilangnya landasan yuridis dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum Mahkamah berpendapat, oleh karena kedudukan hukum, pokok permohonan, dan petitum tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas atau kabur,” ucap Guntur dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra dan tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Kasus Rempang Eco City Bergulir di MK
UU Pengadaan Tanah Dinilai Mengancam Warga di Wilayah Pesisir
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 137/PUU-XXI/2023 diajukan oleh dua orang warga Batam, yaitu Indra Afgha Anjani dan Amrin Esarey. Para Pemohon menguji secara materiel Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah).
Adapun pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon di antaranya Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 14 ayat (1). Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah yang menyatakan, “Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentinan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (24/10/2023), Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Iqbal Kholidin menyebutkan norma tersebut tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian dari ‘kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat’. Dampak konkret norma tersebut dalam pandangan Pemohon terlihat dari Pembangunan Rempang Eco City yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Padahal, sambung Iqbal, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk meredistribusikan tanah melalui fenomena agraria dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Di samping itu, negara juga memiliki kewajiban hukum untuk meredistribusikan tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Singkatnya, atas pengadaan pembangunan proyek tersebut, masyarakat sejatinya mendapatkan ganti rugi. Namun hal itu tidak sepenuhnya berjalan karena terdapat perlakuan diskriminatif yang berpotensi terlanggarnya hak ulayat masyarakat yang ada di wilayah perairan pesisir sebagaimana dijamin Pasal 28I ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitium provisinya meminta MK menyatakan untuk menghentikan PSN Rempang Eco City. Atau setidak-tidaknya menyatakan untuk menangguhkan PSN Rempang Eco City.
Selanjutnya, dalam petitum terhadap pokok permohonan, Pemohon meminta MK menyatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bertentangan secara keseluruhan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.