JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan pemaknaan baru melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan Brahma Aryana dalam Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo dalam sidang yang digelar pada Rabu (29/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menegaskan, adanya hierarki dalam jenjang pemerintahan, maka syarat batas usia untuk menjadi presiden, gubernur, bupati/walikota pun dibuat secara berjenjang. Untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun (Pasal 169 huruf q UU 7/2017), calon gubernur/wakil gubernur berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun, dan calon bupati/wakil bupati serta calon walikota/wakil walikota berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun [Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang]. Desain politik hukum pembentuk undang-undang membuat tingkatan batas usia seperti ini boleh jadi dimaksudkan untuk mengakomodir apabila ada kemungkinan seseorang menjalani jenjang karier sebagai kepala daerah dimulai dari tingkatan yang paling bawah, yakni kota, kabupaten, dan provinsi.
"Artinya, saat seseorang yang menjadi bupati atau walikota di usia 25 (dua puluh lima) tahun maka dalam waktu 1 (satu) periode kepemimpinannya sebagai bupati atau walikota ia sudah berusia 30 (tiga puluh) tahun, sehingga dalam waktu hanya satu periode ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur. Setelah 2 (dua) periode menjadi Gubernur, ia dapat mengikuti kontestasi pemilihan Presiden. Jenjang dan tahapan karier seperti ini penting untuk dibangun agar memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam memimpin suatu daerah dengan beragam permasalahannya, sehingga diharapkan tatkala seorang kepala daerah menaikan level status kepemimpinannya pada tingkat yang lebih tinggi, ia sudah sangat siap dan matang," urai Daniel.
Misal, sambung Daniel, seseorang yang semula menjabat gubernur kemudian mencalonkan diri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Di sisi lain, tantangan sebagai presiden dan wakil presiden, lebih rumit dan kompleks di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, multi-etnik, dan multikultur dengan segudang permasalahan baik dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Terlebih lagi, dalam menghadapi tantangan global yang cepat berubah. Oleh karena itu, sosok calon presiden dan calon wakil presiden haruslah figur yang matang secara emosional, kompeten secara fisik maupun mental, dan intelek dalam pemikiran serta haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa. Oleh karena itu, jika diperlukan perubahan terhadap rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi calon presiden atau calon wakil presiden maka berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat sebagai gubernur yang persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).
Selain itu, Daniel menambahkan upaya menyesuaikan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, atau upaya menyepadankan dengan pejabat negara atau penyelenggara negara (public official)—termasuk menyepadankan atau mengalternatifkan dengan jabatan yang berasal dari hasil pemilihan umum (elected official) masih tetap merupakan dan berada di ranah pembentuk undang-undang. Dalam hal ini, Mahkamah perlu menegaskan, dalam hal pembentuk undang-undang akan menyesuaikan dengan semua pilihan tersebut, perubahan atas UU 7/2017 diberlakukan untuk Pemilihan Umum 2029 dan pemilihan umum setelahnya. Oleh karena itu, ke depan, jika pembentuk undang-undang akan melakukan perubahan terhadap ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 agar merujuk pada kriteria pembatasan-pembatasan tersebut.
Sehingga, berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan perlindungan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Baca juga: “Berpengalaman sebagai Gubernur” Jadi Isu Konstitusional Syarat Capres-Cawapres
Konstitusionalitas Larangan Kampanye
Majelis Hakim Konstitusi pun memutus menolak terkait uji materiil aturan larangan kampanye dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Mahkamah menilai tiga mahasiswa yang menjadi Pemohon Nomor 128/PUU-XXI/2023 tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023. Hal tersebut karena dalam pertimbangan hukum putusan tersebut telah mempertimbangkan secara yuridis dan menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh para Pemohon khususnya terkait dengan larangan dan pengecualian untuk melakukan kampanye pemilu di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Dalam hal ini, perlu Mahkamah tegaskan kembali bahwa Mahkamah tidak membentuk suatu norma baru terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 sehingga Mahkamah dapat dianggap sebagai positive legislature. Demikian dinyatakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 128/PUU-XXI/2023.
Menurut Mahkamah, kampanye pemilu di tempat pendidikan adalah tepat jika ditujukan bagi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi yaitu jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang penyelenggaraannya dilakukan oleh perguruan tinggi. Selain merupakan sumber potensial dari keberadaan pemilih pemula, perguruan tinggi juga merupakan simbol pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban, tempat terkonsentrasinya orang-orang yang terdidik dan terpelajar, serta merupakan pusat energi dan kemampuan untuk melakukan langkah pencegahan yang antisipatif terhadap paham radikal dan intoleran. Oleh karena fungsi perguruan tinggi yang sangat strategis tersebut, menurut Mahkamah, perguruan tinggi melalui civitas akademika memiliki kemampuan besar dalam mengupayakan pendidikan politik serta partisipasi politik bagi masyarakat yang dilaksanakan melalui kampanye pemilu.
Lebih lanjut MK menegaskan, kampanye pemilu di perguruan tinggi dapat membuka kebebasan berbicara, berekspresi, dan mengemukakan pendapat bagi civitas akademika dan merupakan tempat yang tepat dalam menguji visi, misi, program dan/atau citra diri para peserta pemilu, sehingga peserta pemilu kemudian akan mendapatkan ide dan gagasan baru yang merupakan hasil dari diskusi ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan dan penelitian guna perbaikan dan perubahan pembangunan. Perguruan tinggi juga merupakan tempat berkembangnya kebebasan mimbar akademik yang dapat menciptakan dialog antara peserta pemilu untuk membahas sejauh mana program-program yang ditawarkannya dapat dengan mudah diterapkan setelah memenangkan pemilu.
Kampanye pemilu di perguruan tinggi menyebarluaskan pengetahuan serta memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Bagi mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika dan merupakan pemilih pemula, kampanye pemilu dapat memberikan informasi tentang rekam jejak, visi, misi, dan program kandidat peserta pemilu sehingga dapat menjadi dasar keputusan untuk menentukan pilihan yang terbaik berdasarkan hati nurani pada saat menggunakan hak suara dalam pemilu.
“Meskipun demikian, kampanye pemilu yang diselenggarakan di perguruan tinggi perlu disesuaikan dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023. Pengaturan pembatasan demikian diperlukan agar kampanye pemilu tersebut tidak berubah menjadi kampanye politik yang menimbulkan perpecahan dan polarisasi civitas akademika yang berakhir dengan pelanggaran pemilu,” tandas Arief.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan Para Pemohon mempersoalkan norma yang mengatur ketentuan kampanye di tempat pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 lalu. Para pemohon menyebut persentase 50% lebih itu sebanyak 272 kepala daerah itu merupakan Pelaksana Tugas (Plt) yang ditunjuk oleh pemerintah eksekutif dalam hal ini presiden. Hal ini dinilai rentan terkontaminasi kepentingan politik. Dalam permohonannya, para Pemohon juga menilai bahwa frasa antisipatif tersebut tetap menimbulkan kerugian bagi insan kampus. Sehingga, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa “kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggungjawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Baca juga: Menguji Kembali Ketentuan Larangan Kampanye
Larangan Golput Konstitusional
Dalam sidang yang sama, Majelis Hakim Konstitusi juga memutus untuk Perkara Nomor 142/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Jonatan Ferdy. Atas uji UU Pemilu tersebut, Ketua MK Suhartoyo menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menyebut pasal yang digunakan oleh Pemohon untuk menjelaskan adanya anggapan kerugian hak konstitusional sekaligus juga dijadikan sebagai dasar pengujian norma Pasal 515 UU Pemilu, yaitu Pasal 28F UUD 1945 tidak ditemukan dalam Salinan UUD 1945 yang digunakan sebagai bukti Permohon. Terhadap dalil dan bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil Pemohon dimaksud tidak dapat dibuktikan dengan bukti yang benar.
Selain itu, Pemohon dalam menjelaskan atau menguraikan antara alasan permohonan (posita) tidak sinkron dengan petitum yang dimohonkan oleh Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana dinyatakan pada Petitum permohonan angka 1. Dalam menguraikan alasan permohonannya, Pemohon menjelaskan menguji norma Pasal 515 UU 7/2017 yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilihan umum tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)” terhadap UUD 1945 secara bersyarat. Namun, setelah Mahkamah mencermati secara saksama Petitum permohonan Pemohon pada angka 1, tidak ditemukan adanya perubahan atau perbedaan rumusan norma dimaksud sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, yaitu “Menyatakan norma Pasal 515 UU Pemilu bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilihan umum tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
“Pemaknaan norma Pasal 515 UU 7/2017 yang dimohonkan Pemohon ini sama dengan rumusan norma aslinya. Dengan demikian menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak dapat dipahami adanya keterhubungan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan apa yang dimohonkan (petitum) oleh Pemohon, sehingga menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur). Oleh karena itu, berkenaan dengan kedudukan hukum dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” tandas Enny.
Tidak Dapat Diterima
Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi pun tidak dapat menerima permohonan uji materiil UU Pemilu yang dimohonkan oleh Andi Redani Suryanata yang merupakan seorang mahasiswa. Perkara Nomor 98/PUU-XXI/2023 tersebut mempersoalkan norma Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1). Pada dasarnya, kedua norma mengatur tentang persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota serta ketentuan pendaftaran bakal calon anggota DPD melalui KPU Provinsi.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan syarat kerugian konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini Pemohon menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang, dalam hal ini norma Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017, menurut Mahkamah, diperlukan syarat yang bersifat imperative, yaitu anggapan kerugian konstitusional faktual atau setidak-tidaknya potensi kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
“Setelah Mahkamah mempelajari secara saksama norma dalam Pasal 182 dan Pasal 240 ayat (1) UU 7/2017, kedua norma dimaksud merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mencalonkan atau mengajukan diri sebagai calon anggota DPD atau diajukan sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota,” ucap Wakil Ketua Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum.
Artinya, lanjut Saldi, kedua norma dimaksud baru dapat dinilai telah merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon apabila kedua norma dimaksud menghalangi hak Pemohon untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota. Dengan membaca persyaratan yang termaktub dalam norma Pasal 182 UU Pemilu, norma a quo sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD. Begitu pula, norma Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk diajukan sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota,” ujar Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum MK.
Baca juga: Menyoal Ketiadaan Batasan Periode Kerja Bacaleg
Sebelumnya Pemohon mendalilkan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai bahwa pembatasan periode kerja Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama pentingnya dengan pembatasan periode kerja Presiden/Wakil Presiden. Menurut Pemohon, rendahnya kualitas, integritas, kompetensi/kapabilitas hingga membuka peluang besar untuk korupsi kolusi nepotisme selaku lembaga negara legislatif disebabkan peraturan Pasal 240 ayat (1) dan Pasal 258 ayat (1) yang tidak mencantumkan pembatasan periodisasi sebagai persyaratan bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Untuk itu dalam petitumnya, Pemohon meminta dua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha