JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konsitusi (UU MK) dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Rabu (29/11/2023). Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Fahri Bachmid yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Dalam pertimbangan hukum mengenai uji Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK tersebut, Saldi menyebutkan jika pembentuk undang-undang akan mengubah undang-undang yang sedang berlaku, termasuk perubahan UU MK, maka setidaknya terdapat batasan yang harus dijadikan pedoman. Batasan tersebut, yakni perubahan undang-undang tidak boleh merugikan subjek hukum yang menjadi adressat dari substansi perubahan undang-undang yang dimaksud. Terkait dengan persyaratan usia ini, maka pengubahannya tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
“Artinya, jika pembentuk undang-undang ingin mengubah persyaratan tersebut, aturannya diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah. Apabila perubahan diberlakukan pada mereka yang menjabat, hal demikian berarti berdampak pada yang sedang menjabat,” sebut Saldi.
Sehubungan dengan dampak dari suatu perubahan undang-undang, UU 12/2011 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) telah menegaskan jaminan perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan ketentuan undang-undang. Maka, hal yang dikhawatirkan Pemohon belum merupakan fakta hukum. Berdasarkan pertimbangan hukum, telah ternyata ketetntuan Pasal 15 ayat (2) UU MK apabila tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana dimohonkan Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
“Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo membacakan Amar Putusan yang turut dihadiri oleh selutuh hakim konstitu di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagaimana diketahui, dalam Perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Fahri Bachmid yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar disebutkan perubahan yang terus terjadi atas syarat minimal usia calon hakim konstitusi, jelas dan nyata menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil yang semakin lama untuk dapat mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. Hak konstitusional Pemohon ini sejatinya telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pemohon juga menyebutkan beberapa perubahan persyaratan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang pernah terjadi. Untuk itu, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa “berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun,” sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. Syarat
Baca juga: Minimal Usia Calon Hakim Konstitusi Kembali Dipersoalkan
Sifat Putusan MK
Dalam sidang yang sama, Majelis Hakim Konstitusi juga memutus Perkara Nomor 126/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Muhammad Hafidz. “Mahkamah menilai, menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap kata ‘dikabulkan’ dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan Pemohon berkenaan dnegan pengujian kata ‘dikabulkan’ dalam norma Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan hukum.
Lebih jelas Wahiduddin menyebutkan, Pasal 51 UU MK mengatur tentang hak konstitusional yang dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian tersebut dapat berasal dari pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/atau kerugian yang berasal dari materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan hal ini, kerugian hak konstitusional Pemohon bukan semata-mata berasal dari kasus konkret yang dialami, melainkan adanya norma yang dianggap bertentanagn dengan UUD 1945. Sehingga, sambung Wahiduddin, kerugian tersebut tidak bersifat privat.
Selain itu, putusan MK yang bersifat erga omnes bermakna mengikat tidak hanya kepada Pemohon tetapi berlaku bagi seluruh warga Indonesia, sehingga putusan MK tidak dapat diberlakukan terhadap perkara-perkara privat, termasuk menuntut negara untuk memberikan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada pihak tertentu. Dengan kata lain, keinginan Pemohon untuk memberikan makna baru pada kata “dikabulkan” dalam pasal a quo justru akan mempersempit makna dari norma tersebut. Sebab, norma a quo berlaku untuk semua perkara, bukan hanya perkara tertentu saja termasuk hanya berkaitan dengan ganti rugi. Mengenai persoalan konstitusional Pemohon, yang khawatir jika putusan MK diputus melewati masa tenggang pengajuan permohonan ke PHI, akan merugikan haknya sebagai pekerja dalam menerima uang kompensasi pesangon, maka Mahkamah meminta agar Pemohon memperhatikan sifat putusan MK.
“Dari yang dialami ini lebih menitikberatkan pada persoalan implementasi. Tidak diterimanya kompensasi pesangon tersebut bukan merupakan kerugian konstitusional. Sehingga terdapat mekanisme lain untuk mengajukan upaya ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan hukum, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Wahiduddin.
Sebelumnya, Hafidz menganalogikan norma yang diujikan tersebut dengan kasus konkret yang sedang dialaminya dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pihaknya akan ditetapkan (putusannya) dalam waktu paling lama satu tahun terhitung sejak tanggal dilakukannya pemutusan hubungan kerja. Sementara hingga saat ini MK belum menentukan batas waktu penyelesaian permohonan dan bahkan pengucapan putusan terhadap PUU dalam Perkara Nomor 94/PUU-XXI/2023. Dalam perkara tersebut, Pemohon mendalilkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) ke MK, yang sejalan dengan perjuangan gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial.
Atas ketiadaan batas waktu penyelesaian perkara di MK ini, Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya jaminan hukum atas hilangnya hak-hak keperdataan Pemohon berupa uang kompensasi pesangon yang nyata-nyata terlanggar akibat berlakunya norma Pasal 82 UU 2/2004 tersebut. Oleh karena itu, dalam petitum Hafidz meminta kepada MK menyatakan frasa “dikabulkan” dalam Pasal 56 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “apabila materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia berakibat pada hilangnya hak-hak keperdataan, martabat dan atau nama baik seseorang, maka negara dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi dan atau rehabilitasi.”
Baca juga: Ketiadaan Batas Waktu Penyelesaian Uji UU di MK Potensial Rugikan Hak Konstitusional
Ketetapan: Menyoal MKMK Permanen
Dalam sidang yang sama, MK juga mengeluarkan Ketetapan terhadap permohonan yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Ketua MK Suhartoyo membacakan Ketetapan atas Perkara Nomor 139/PUU-XXI/2023 bahwa Mahkamah mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dan menyatakan permohonan dalam perkara a quo ditarik kembali serta Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan ini.
Lebih jelas Suhartoyo menyebutkan bahwa Mahkamah telah menjadwalkan utnuk persidangan Pendahuluan pada 1 November 2023 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Akan tetapi Pemohon yang merupakan advokat hadir di persidangan tanpa menggunakan toga sebagaimana mestinya. Kemudian Mahkamah kembali menjadwalkan Sidang Pendahuluan pada 8 November 2023, namun Pemohon tidak hadir. Pemohon hanya menyampaikan surat bertanggal 8 November 2023 yang pada pokoknya memohon agar Perkara Nomor 139/PUU-XXI/2023 digugurkan dengan pertimbangan agar dikemudian hari dapat mengajukan kembali permohonannya apabila Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang permanen tidak segera dibentuk.
Kemudian, pada 9 November 2023 Mahkamah kembali menerima surat permohonan yang pada pokoknya menyatakan menarik kembali perkaranya dengan pertimbangan kepercayaan Pemohon pada Ketua dan Wakil Ketua MK yang baru terpilih akan segera membentuk MKMK yang bersifat permanen.
“Terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon, Pasal 35 ayat (1) dan Pasal (2) UU MK menyatakan penarikan kembali mengakibatkan permohonan ini tidak dapat diajukan kembali. RPH pada 15 Novemer 2023 telah berkkesimpulan pencabutan permohonan beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo.
Baca juga: Pemohon Pertimbangkan Gugurkan Permohonan Ihwal MKMK Permanen
Sebagai informasi, Zico dalam permohonannya menyebutkan Pasal 27A ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Dalil hukum ini menurut Pemohon terkait dengan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman dalam memutus Perkara 90/PUU-XXI/2023. Berkaca dari Perkara 90/PUU-XXI/2023, maka perlu dibentuk MKMK untuk mengawasi MK dan segera dibentuk MKMK permanen. Dalam pokok perkara, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa ‘Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi’ dalam Pasal 27 ayat (2) UU MK bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dibentuk secara permanen selambatnya dalam waktu 7 x 24 jam setelah perkara a quo. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina