JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketika dunia berubah karena faktor teknologi, maka bukan sesuatu yang mustahil bahwa sistem perdagangan pun ikut berubah sesuai dengan pengaruh perkembangan teknologi itu sendiri. Perubahan sistem perdagangan akibat perubahan teknologi juga akan mempengaruhi model bisnis musik.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Agus Sardjono sebagai Ahli yang dihadirkan oleh PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw. Sardjono menyampaikan keterangan tersebut dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (27/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Perubahan sistem perdagangan juga mempengaruhi model bisnis musik. Pada masa analog, model bisnis musik diwarnai dengan perdagangan karya rekaman (phonograms) yang masih bersifat fisik, seperti piringan hitam (vynil), kaset, dan compact disc (CD). Ketika teknologi digital berkembang, maka model bisnis musik pun akan berubah mengikuti perkembangan teknologi yang bersangkutan. Perdagangan musik tidak lagi bersifat analog, melainkan ikut berubah menjadi perdagangan musik yang bersifat digital. Jika dahul tempat perdagangan musik masih berbentuk pasar fisik, seperti toko-toko musik atau mal, maka saat ini tempat perdagangan berubah menjadi tempat perdagangan yang bersifat digital,” terangnya menanggapi Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Menurut Agus, metode pengumuman (making available for public) karya musik yang tersimpan dalam bentuk kaset dan CD juga berbeda dengan metode mengumumkan karya musik yang berbentuk digital. Tumbuhnya berbagai platform digital menjadi tempat perdagangan musik adalah sebuah keniscayaan di era digital seperti sekarang ini. Itulah sebabnya narasi tentang tempat perdagangan barang yang tercantum dalam Pasal 10 UU Hak Cipta harus dimaknai tidak hanya secara gramatikal atau tekstual saja, melainkan harus diperluas hingga mencakup tempat perdagangan musik digital sebagaimana yang dikenal sekarang ini. Hal ini termasuk mencakup platform berbasis UGC yang sudah semakin marak.
“Dengan memperluas makna tempat perdagangan tersebut, maka potensi kerugian pemilik hak cipta dapat dihilangkan atau dikurangi. Hal itu sejalan dengan tujuan diberlakukannya UU Hak Cipta, yaitu melindungi pencipta dan pemilik hak terkait,” tegasnya.
Perlunya Penafsiran
Sementara Widodo Dwi Putro yang merupakan Dosen Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram menerangkan, ketika Revolusi Digital 4.0, hukum tidak dapat diubah. Pelanggaran hak cipta telah beralih dari pembajakan fisik ke digital. Pelanggaran hak cipta mengikuti perkembangan teknologi, tetapi hukum tidak berubah sehingga hukum tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat. Dari perspektif filsafat, kesenjangan atau celah antara hukum dan dinamika dalam fakta. Ketika ada masalah baru hukum tidak mampu melingkupi atau mengantisipasi masalah baru.
Dalam paparannya, Widodo menjelaskan guna mengatasi "major lacunae", diperlukan upaya penafsiran oleh hakim dengan melakukan penafsiran teleologis, menyelami makna dan tujuan hak cipta yang dijamin konstitusi, dengan cara memperluas makna atas frasa "Pengelola Tempat Perdagangan" yang konvensional, menjadi "Pengelola Tempat Perdagangan berbasis teknologi digital."
Dengan mempertimbangan "major lacunae" antara Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2014 yang telepas dari makna dan tujuan Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, Hakim perlu memperluas makna frasa "Pengelola Tempat Perdagangan" tidak hanya bersifat konvensional, melainkan juga menampung "Pengelola Tempat Perdagangan berbasis teknologi digital", sehingga Platform Layanan Digital (Digital Service Platform) yang berbasis User Generated Content turut tertampung.
Kemudian, Widodo menyampaikan upaya penafsiran teleologis ini sekaligus menjadi komitmen melindungi hak konstitusional warga negara, yakni memperoleh manfaat atas ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dalam rangka peningkatan kualitas hidup serta perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Sementara saksi yang dihadirkan oleh Pemohon yakni Candra Darusman yang merupakan musisi menjelaskan akibat dari membatasi pengertian tempat perdagangan pada hal-hal yang berwujud fisik, hilanglah kesempatan mendapatkan nilai pendapat yang besar bagi pemilik hak cipta untuk menikmati kesejahteraan atau hak ekonominya. Hal ini dapat diilustrasikan dengan angka angka di bawah, yakni dengan melihat nilai pendapatan atas pemanfaatan dari eksploitasi hak perbanyakan dan hak pengumuman.
Baca juga:
Aquarius Musikindo Perbaiki Kedudukan Hukum
Tak Dapat Tuntut Penyedia Platform yang Langgar Hak Cipta, Aquarius Musikindo Mengadu ke MK
Perlindungan Karya Cipta Indonesia Meratifikasi Perjanjian Internasional
Sebagai Informasi, PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw menguji aturan mengenai larangan pengelola tempat perdagangan membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Aturan tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Ketiganya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 84/PUU-XXI/2023.
Pemohon mendalilkan berdasarkan dari kasus konkret yang dialami yakni ketika media sosial banyak memuat atau menayangkan atau mengumumkan lagu-lagu atau master yang dimiliki pemohon tanpa izin dari pemohon. Namun dilihat dari UU Hak Cipta belum mengatur khususnya mengenai pertanggungjawaban dari penyedia layanan digital yang khususnya berbasis User Generate Content (UGC).
Para pemohon mengajukan somasi terhadap salah satu penyedia platform terkait dengan banyaknya materi muatan yang melanggar hak cipta atas lagu-lagu atau master dari para pemohon. Akan tetapi, penyedia platform berasumsi atau berdalih adanya ketentuan yang mengatur penyedia platform tidak bertanggung jawab atas konten yang diunggah oleh UGC dan menurunkan apabila ada keberatan dari pemegang Hak Cipta atau pencipta atau pemegang hak terkait.
Pemohon menilai UU Hak Cipta belum sepenuhnya mengatur tentang hal tersebut. Sehingga Pemohon melihat ada ketentuan Pasal 10 dan 114 UU Hak Cipta sebagai suatu perwujudan dari chief harbour yang memberikan larangan bagi tempat perdagangan untuk membiarkan layanan atau penggandaan pelanggaran Hak Cipta. Namun di dalam Pasal 10 dan Pasal 114 ini memang terkesan masih sempit dan belum mengakomodir fakta atau fenoma yang terjadi saat ini khususnya media sosial yang berbasis UGC.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan materi muatan Pasal 10 dan Pasal 114 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina