JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) Kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (27/11/2023). Permohonan perkara Nomor 94/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz yang menguji norma Pasal 82 dan 97 UU PPHI.
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Presiden/Pemerintah diwakili Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri. Dalam persidangan, Indah mengatakan kerugian yang didalilkan Pemohon hanya merupakan asumsi dan bukan merupakan kerugian yang bersifat aktual atau senyatanya (konkret) dialami ataupun diderita oleh Pemohon. Pemohon sama sekali tidak sedang mengalami pemutusan hubungan kerja dan/atau sama sekali tidak sedang berproses dalam upaya pengajuan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sehingga berpotensi mengalami kerugian yang bersifat potensial.
Oleh karena itu, menurut Pemerintah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sudah tepat jika MK secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Selain itu, menurut pemerintah, ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) menyatakan materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
“Bahwa yang dimaksud dengan "tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi" sebagaimana penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d U P3 adalah terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” terang Indah menyampaikan keterangan Presiden/Pemerintah.
Lebih lanjut Indah mengatakan, penghapusan suatu norma adalah bentuk perubahan, sedangkan substansi materi muatan harus dilihat pada substansi norma yang dihapus itu sendiri. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU 13/2003.
UU Cipta Kerja dalam Ketentuan Pasal 81 angka 51 menyatakan, "Pasal 159 dihapus" dan Ketentuan Pasal 81 angka 63 menyatakan "Pasal 171 dihapus" adalah bentuk perubahan.
Dihapusnya Pasal 159 U 13/2003 tersebut pada dasarnya karena Pasal tersebut telah dinyatakan (inkonstitusional) bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004.
Indah menegaskan, dihapusnya Pasal 171 UU 13/2003 dalam ketentuan Pasal 81 angka 63 U 6/2023 karena Pasal a quo sepanjang frasa "Pasal 158 ayat (1)" telah dinyatakan (inkonstitusional) bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Hal demikian diperkuat dengan Putusan MK Nomor 61/PUU-VIl|/2011 tanggal 14 November 2011 dan Putusan MK Nomor 114/PUU-XIlI/2015 tanggal 29 September 2016.
Menindaklanjuti putusan MK Nomor 12/PUU-I/2003, Nomor 61/PUU-VIII/2011, dan Nomor 114/PUU-XIll/2015, pembentuk Undang-Undang mengubah ketentuan Pasal a quo dengan menghapus sebagaimana termuat dalam Pasal 81 angka 51 UU 6/2023, yang menyatakan "Pasal 159 dihapus" dan Pasal 81 angka 63 UU 6/2023 yang menyatakan "Pasal 171 dihapus".
Dalam rangka meniadakan terjadinya duplikasi pengaturan terkait dengan ketentuan mengenai batasan jangka waktu pengajuan gugatan ke lembaga PPHI paling lama satu tahun dalam ketentuan Pasal 171 UU 13/2003 dan dalam Pasal 82 U PPHI, maka hal ini pula menjadi dasar bagi pembentuk undang-undang untuk menghapus ketentuan Pasal 171 UU 13/2003 dengan Pasal 81 angka 63 UU 6/2023. Sehingga, berdasarkan penjelasan dan pertimbangan tersebut, menurut Pemerintah, tidak terdapat persoalan konstitusional terhadap ketentuan Pasal 82 dan Pasal 97 UU PPHI.
Baca juga:
Karyawan Swasta Persoalkan Biaya Perkara Gugatan PHI
Karyawan Swasta Perbaiki Uji Biaya Perkara Gugatan PHI
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz. Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 82 dan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI.
Selengkapnya Pasal 82 UU PPHI menyatakan, “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.
Kemudian Pasal 97 UU PPHI menyatakan, “Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Rabu (6/9/2023), Pemohon menerangkan bahwa pengaturan masa daluwarsa satu tahun atas gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana diatur dalam pasal 82 UU PPHI adalah untuk alasan PHK yang dimaksud pada Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian konstitusionalnya. “Sebagai pekerja yang masih aktif bekerja di perusahaan swasta dirugikan oleh berlakunya muatan materi dalam Pasal 82 dan Pasal 97 UU Nomor 2 Tahun 2004” ujar Hafidz.
Menurut Pemohon, kerugian konstitusional tersebut memungkinkan terjadi pada Pemohon sebagai pekerja swasta yang dapat mengalami PHK dengan alasan-alasan dimaksud dalam pasal 82 UU PPHI. Pemohon juga berpotensi akan dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal 97 UU PPHI berupa kepastian hukum untuk mendapatkan pengembalian panjar biaya perkara dengan masa kerja Pemohon kurang lebih hampir 9 (sembilan) tahun dengan upah sebesar Rp25.403.800,00 (dua puluh lima juta empat ratus tiga ribu delapan ratus rupiah) perbulan. Sehingga, apabila Pemohon memperhitungkan uang kompensasi PHK dengan masa kerja dan besaran upah tersebut, maka Pemohon berhak mendapatkan uang pesangon, beserta uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah).
Biaya Perkara PHI
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 58 UU PPHI menyebutkan, proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Apabila Pemohon hendak mengajukan gugatan perselisihan PHKJ ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan nilai gugatan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah), maka Pemohon akan dikenakan biaya perkara yang besarannya telah ditetapkan oleh Pengadilan sebagai panjar biaya perkara.
Setelah Pemohon membayar panjar biaya perkara, kemudian terhadap gugatan Pemohon lalu oleh Pengadilan Hubungan Industrial dijatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan Pemohon dan menetapkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak Pemohon, sehingga pengusaha berada pada pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara karena nilai gugatannya di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkekuatan hukum tetap dan pengusaha bersedia secara sukarela melaksanakannya, akan tetapi yang dilaksanakan hanyalah membayar hak-hak Pemohon berupa uang kompensasi PHK. Padahal, pengusaha sebagai pihak yang kalah juga dihukum untuk membayar biaya perkara, namun pengusaha tidak bersedia membayar atau mengganti biaya perkara yang pada saat gugatan diajukan telah dibayar oleh Pemohon sebagai Penggugat dalam bentuk panjar biaya perkara.
Dengan demikian, apabila Pemohon menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial dan membayar panjar biaya perkara, kemudian gugatan tersebut dikabulkan, maka Pemohon yang kedudukannya sebagai Penggugat akan kehilangan panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat gugatan didaftarkan akibat kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial tidak menyebutkan pihak yang menerima pembayaran biaya perkara dimaksud.
Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai, putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih
dahulu.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Editor: Tiara Agustina.