JAKARTA, HUMAS MKRI – Urgensi pembentukan UU PWP3K didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam (SDA) yang tinggi dan sangat penting bagi kepentingan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan. Sehingga politik hukum yang dibangun perlu dikelola berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tata nilai bangsa yang berdasarkan penyangga kedaulatan bangsa norma hukum nasional.
“Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi sumber daya alam. Kegiatan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan selama ini, tidak terlepas dari berbagai macam dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan pembangunan yang memanfaatkan berbagai potensi pada ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang dalam bumi.”
Demikian disampaikan oleh Maret Priyanta selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji Materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), pada Rabu (15/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Di hadapan sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Priyanta menerangkan, Pasal 23 dan Pasal 35 UU PWP3K mencerminkan visi dan politik hukum perlindungan dan pemanfaatan SDA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika kita maknai, ide keseluruhan Pasal 23 berada pada ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya”. Alasan pulau kecil memiliki pendekatan tersendiri tentu memiliki dasar pertimbangan yang perlu juga kita perhatikan.
Menurut Priyanta, UU PWP3K hadir sebagai respons terhadap pemanfaatan SDA pada ruang laut yang semakin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan khususnya ekosistem pesisir, baik pencemaran dan perusakan lingkungan fisik laut, maupun berdampak pada masyarakat pesisir. UU PWP3K pada dasarnya mengatur sistem hukum pengelolaan ruang laut, khusus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kaya akan potensi SDA sekaligus rentan terhadap dampak lingkungan.
Pemahaman tanggung jawab negara untuk memberikan keadilan antar generasi dan keadilan lingkungan terhadap pemanfaatan SDA telah menjadi paradigma yang terus dibangun dengan landasan UUD 1945 yang secara implisit memberikan tempat bagi pengembangan konsep green constitution ke depan. Berkenaan dengan hal tersebut dan pertimbangan konsep hukum lingkungan dan hukum tata ruang yang disampaikan bahwa Pasal 23 ayat (2) UU Pengelolaan WP3K perlu dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta dimaknai bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya tetap harus mempertimbangkan kegiatan yang diprioritaskan dengan toleransi bersyarat dan terbatas bagi kegiatan lain sesuai dengan ketentuan dalam Rencana Tata Ruang.
Penataan Ruang Kawasan Pulau Kecil
Pemerintah pada persidangan kali ini juga menghadirkan Dietriech Geoffrey Bengen sebagai ahli. Dietriech mengatakan, di samping potensi sumber daya alam pesisir dan laut yang demikian besar, pulau-pulau kecil dengan karakteristiknya yang spesifik memiliki kerentanan terhadap berbagai pengaruh eksternal dan kegiatan pembangunan. Berbagai pengaruh eksternal dan meningkatnya aktivitas pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil, dapat menjadi ancaman terhadap degradasi ekosistem dan sumber daya alam pulau- pulau kecil, seperti eksploitasi lebih, pencemaran, degradasi habitat, dan penurunan keanekaragaman hayati. Selain beragam ancaman kerusakan ekosistem dan sumber daya alam, kawasan pulau-pulau kecil dengan karakteristiknya yang khas dapat menjadi kendala dalam pengembangannya.
Dietriech menegaskan, sejumlah kendala dan karakteristik pulau-pulau kecil harus menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil. Salah satu pendekatan dalam pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil beserta kesatuan ekosistem pesisir dan lautnya secara terpadu adalah dengan penataan ruang kawasan pulau-pulau kecil. Penataan ruang ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi suatu kawasan pulau-pulau kecil. Karena itu, penataan ruang kawasan pulau-pulau kecil penting dilakukan agar pemanfaatan potensi sumber daya alam pesisir dan laut dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Pemanfaatan dan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil secara terpadu dan partisipatif tentunya dapat berkontribusi pada peningkatan dan pemerataan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi daerah, pengendalian konflik pemanfaatan sumber daya, dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Menurutnya, sejumlah kendala dan karakteristik pulau-pulau kecil harus menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil. Salah satu pendekatan dalam pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil beserta kesatuan ekosistem pesisir dan lautnya secara terpadu adalah dengan penataan ruang kawasan pulau-pulau kecil. Penataan ruang ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi suatu kawasan pulau-pulau kecil. Karena itu, penataan ruang kawasan pulau-pulau kecil penting dilakukan agar pemanfaatan potensi sumber daya alam pesisir dan laut dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.
Baca juga:
Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan Perihal Pengelolaan Wilayah Pesisir
Hak Masyarakat Adat pada Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 35/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Pemohon merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK. Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil. Padahal Pemohon telah memiliki ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Sehingga menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP-PPK bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan UU tersebut dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha di bidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.