JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan Pasal 38 dan 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) serta Lampiran UU Cipta Kerja terbukti memperhatikan hak menguasai oleh negara. Keempat fungsi menguasai negara, yaitu fungsi pengurusan (bestuursdaad), fungsi pengaturan (regelendaad), fungsi pengelolaan (beheersdaad), dan fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) dalam pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, sehingga ketentuan a quo UU Cipta Kerja tetap sesuai dengan amanat Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dirjen Ketenagalistrikan Jisman P Hutajulu yang mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 39/PUU-XXI/2023 yang digelar pada Selasa (14/11/2023). Perkara ini dimohonkan oleh 10 serikat pekerja yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (SP PLN), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP), Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali dan 109 perseorangan lainnya.
“Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 42 angka 7 UU Cipta Kerja bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan alasan ketentuan Pasal 42 angka 7 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan menyebabkan peran negara untuk ikut campur dalam kehidupan masyarakat akan berkurang atau hilang karena koordinasi penyediaan dan penyaluran listrik yang dipegang oleh Pemerintah Pusat melalui BUMN yang khusus beroperasi dalam bidang listrik akan lepas dan digantungkan pada masing-masing pihak yang ada dalam UU CIPTA KERJA, sehingga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 111/PUUXIII/2015 dan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945,” terangnya.
Jisman menyampaikan bahwa Pemerintah menolak dalil Pemohon yang menyatakan akibat adanya sewa jaringan akan menyebabkan blackout. Ia menilai asumsi Pemohon tersebut keliru. Ia mengungkapkan kejadian blackout yang terjadi di Pulau Nias pada 2016 dan blackout di daerah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, bukan disebabkan oleh praktik sewa jaringan tenaga listrik, tetapi disebabkan adanya gangguan di ruang bebas jaringan transmisi. Terhadap permaslahan tersebut, Pemerintah telah melakukan antisipasi agar tidak terulang Kembali,yaitu dengan melakukan beberapa penyesuaian regulasi, di antaranya terkait penambahan pengaturan batasan pemanfaatan ruang di bawah jaringan transmisi, pengaturan medan magnet dan medan listrik dan pengaturan pemeliharaan jaringan transmisi yaitu melalui regulasi yang mengatur pengaturan batasan pemanfaatan ruang bebas tersebut adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2021 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum Jaringan Transmisi Tenaga Listrik dan Kompensasi Atas Tanah, Bangunan, dan Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik.
Kemudian, Pemerintah menegaskan pemegang izin usaha transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik wajib membuka kesempatan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau distribusi untuk kepentingan umum melalui sewa jaringan yang dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kapasitas jaringan transmisi dan/atau distribusi. Kemudian, lanjut Jisman, berdasarkan ketentuan Pasal 42 angka 4 Lampiran UU Cipta Kerja (yang mengubah ketentuan 5 ayat (1) huruf j UU Ketenagalistrikan) dan Pasal 42 angka 23 Lampiran UU Cipta Kerja (yang mengubah ketentuan Pasal 33 UU Ketenagalistrikan jo. Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (3) PP 14/2012, Pemerintah dalam menetapkan harga sewa jaringan harus mengevaluasi terlebih dahulu kemampuan kapasitas jaringan transmisi dan/atau distribusi. Sehingga manakala kapasitas jaringan transmisi dan/atau distribusi ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan sewa jaringan, maka Pemerintah tidak akan menerbitkan persetujuan untuk dilakukan sewa jaringan atas jaringan transmisi dan/atau distribusi tersebut. “Bahwa berdasarkan uraian penjelasan di atas, dengan demikian kekhawatiran Pemohon akan kerentanan sistem interkoneksi adalah tidak benar dan tidak berdasar,” papar Jisman.
Baca juga:
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja
Serikat Pekerja PLN Uji UU Cipta Kerja Perkuat Kedudukan Hukum
DPR Reses, Sidang Lanjutan Uji UU Cipta Kerja Ditunda
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi atau unbundling. Sebelum diubah oleh UU Cipta Kerja, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) telah ditafsirkan secara konstitusional melalui putusan MK 111/PUU-XIII-2015 dan UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK pada 21 Desember 2004 dengan putusan perkara 001-021-022/PUU-I/2003. Kedua UU tersebut diputuskan karena pengaturan sistem unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun sistem unbundling ini kembali dihidupkan kembali dalam UU Cipta Kerja.
Para Pemohon mendalilkan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Cipta Kerja sama dengan substansi Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 111/PUU-XIII-2015. Selain itu, ia juga menjelaskan tenaga listrik yang mana merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hak hajat hidup orang banyak telah ditegaskan oleh pembuat UU Ketenagalistrikan sebagaimana tertera dalam konsideran menimbang huruf a dan penjelasan Pasal 3 ayat (1). Kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang telah terpisah atau unbundled adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana pula merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu, para Pemohon menjelaskan beberapa alasan permohonan seperti UU Cipta Kerja mengatur kembali usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tidak terintegrasi (unbundling). Sistem unblunding yang dimaksud adalah pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan. Pemohon menegaskan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memperlakukan pelaku usaha secara sama dan oleh badan usaha yang terpisah adalah bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina