JAKARTA, HUMAS MKRI - Majelis Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) pada Senin (6/11/2023). Agenda sidang untuk perkara Nomor 137/PUU-XXI/2023 kali ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan.
Sidang Panel dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Dalam persidangan, Kuasa hukum Pemohon, Rahman menyebutkan perbaikan atas pengujian Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 14 ayat (1) UU Pengadaan Tanah yang dinilainya tak sejalan dengan UUD NRI 1945. Perbaikan dimaksud yakni penambahan satu orang Pemohon atas nama Amrin Esarey. Semula Pemohon hanya satu orang yakni Indra Afgha Anjani. Dengan demikian jumlah Pemohon menjadi dua orang.
Selain itu, Rahman menambahkan alasan terbitnya UU Pengadaan Tanah yang dinilai mengancam warga di wilayah pesisir. Menurutnya, berlakunya norma tersebut merupakan ancaman serius untuk memiskinkan masyarakat dengan melakukan perampasan terhadap tanah milik masyarakat.
“Sehingga kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 huruf a sampai huruf r UU Pengadaan Tanah telah memanipulasi kepentingan umum,” sebut salah satu kuasa para Pemohon yang menghadiri persidangan secara daring.
Berikutnya para Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 14 ayat (1) UU Pengadaan Tanah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Utamanya, tentang “tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam.” Kemudian para Pemohon juga menyebutkan Pasal 21 ayat (1) UU Pengadaan Tanah telah menghilangkan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan keberatan atas rencana pembangunan. Sehingga, hal ini berpotensi menghilangkan hak hukum masyarakat untuk mempertahankan hak secara adil, berimbang, dan proporsional. Dengan demikian, norma ini menurut para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga:
Kasus Rempang Eco City Bergulir di MK
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 137/PUU-XXI/2023 diajukan oleh dua orang warga Batam, yaitu Indra Afgha Anjani dan Amrin Esarey. Para Pemohon menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah).
Adapun pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon di antaranya Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 14 ayat (1). Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah yang menyatakan, “Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentinan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (24/10/2023), Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Iqbal Kholidin menyebutkan norma tersebut tidak mendefinisikan dengan jelas pengertian dari ‘kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat’. Dampak konkret norma tersebut dalam pandangan Pemohon terlihat dari Pembangunan Rempang Eco City yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Padahal, sambung Iqbal, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk meredistribusikan tanah melalui fenomena agraria dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Di samping itu, negara juga memiliki kewajiban hukum untuk meredistribusikan tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah. Singkatnya, atas pengadaan pembangunan proyek tersebut, masyarakat sejatinya mendapatkan ganti rugi. Namun hal itu tidak sepenuhnya berjalan karena terdapat perlakuan diskriminatif yang berpotensi terlanggarnya hak ulayat masyarakat yang ada di wilayah perairan pesisir sebagaimana dijamin Pasal 28I ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitium provisinya meminta MK menyatakan untuk menghentikan PSN Rempang Eco City. Atau setidak-tidaknya menyatakan untuk menangguhkan PSN Rempang Eco City.
Selanjutnya, dalam petitum terhadap pokok permohonan, Pemohon meminta MK menyatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bertentangan secara keseluruhan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.