JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946]; Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (30/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 78/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah dalam hal ini pemohon I dan pemohon II tengah menyandang status sebagai terdakwa dan telah menjalani atau tengah menjalani persidangan di Pengadilan Jakarta Timur.
Dalam persidangan, Jumhur Hidayat yang merupakan Saksi Pemohon mengatakan pada tanggal 13 Oktober 2020. Ia ditangkap di rumah oleh sekitar 30 orang yang mengaku sebagai petugas Kepolisian dari Dittipidsiber Bareskrim Polri ketika tengah menjalani pemulihan pasca operasi.
“Ketika itu saya sedang menjalani masa pemulihan pasca-operasi, masih diperban dan berdarah. Tidak hanya ditangkap, barang milik saya dan anak-anaknya juga turut disita tanpa diberikan Berita Acara Penyitaan pada saat itu. Baru pada tanggal 14 Oktober 2020 keluarga memperoleh surat perintah penangkapan dari penyidik. Jadi pada saat proses penangkapan perintah,” terang Jumhur di hadapan Ketua MK Anwar Usman dalam persidangan.
Jumhur menerangkan bahwa pihaknya ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa karena adanya postingan di akun twitter @jumhurhidayat dengan postingan pada tanggal 25 Agustus 2020. “Saya memposting Buruh Bersatu Tolak Omnibus Law yang akan dijadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah. Kemudian, pada tanggal 7 Oktober 2020 saya memposting lagi UU ini memang untuk Primitive Investors dari RRC dan Pengusaha Rakus. Kalau Investor Beradab ya seperti di bawah ini, saya mengelink kepada berita Kompas dimana ada berita disebutkan ‘35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja’,” ungkapnya.
Menurutnya, postingan tersebut tidak bermuatan penghinaan terhadap suatu individu maupun golongan tertentu. Dalam persidangan juga ditegaskan saksi seperti Ketua APINDO, Wakil Ketua HIPMI yang merupakan perwakilan pengusaha menjelaskan dirinya selaku pengusaha tidak tersinggung atas postingan tersebut. Juga pada persidangan saksi-saksi menyebutkan adalah suatu hal yang wajar adanya perbedaan pendapat antara pengusaha dan buruh.
Selain itu, Saksi melampirkan tautan dari berita Kompas.com dengan judul “35 investor asing nyatakan keresahannya terhadap pengesahan UU Cipta Kerja”, yang mana berita tersebut adalah produk jurnalistik tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebut jika ada pihak yang berkeberatan atau menyanggah terdapat mekanisme yang diatur. Namun sepengetahuannya hingga ia divonis oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan belum ada mekanisme hak jawab maupun hak koreksi terhadap pemberitaan tersebut.
Jumhur menyebut, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Saksi diputus bersalah dan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana unsur Pasal 15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 karena postingan di atas.
Dalam putusan perbuatan saksi memenuhi unsur “Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap” karena menurut majelis hakim saksi tidak menyampaikan pendapatnya sebagaimana layaknya cara menyampaikan pendapat seorang yang berpengalaman dan berpengetahuan di bidang ketenagakerjaan. Sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa berita/pemberitahuan yang disampaikan adalah tidak lengkap. Mengenai pembuktian unsur “patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat” menurut hakim karena tulisan saksi hanya berupa kalimat tanpa ulasan lebih dalam, sementara saksi adalah orang yang berpengalaman di bidang ketenagakerjaan dan memahami psikologi tenaga kerja. Maka, menurut Hakim, hal tersebut adalah bentuk kesengajaan untuk memancing reaksi masa berupa timbulnya keonaran terhadap postingan.
Pola Relasi
Sementara saksi kedua yang dihadirkan oleh Pemohon adalah Nurkholis Hidayat menjelaskan pola relasi pelapor atau yang merasa dirugikan dengan terlapor atau yang dikriminalisasi dalam hal ini merupakan relasi yang tidak equal dan tidak sejajar. Tetapi berhubungan dengan relasi antara seorang pejabat publik dengan rakyat yang menyuarakan pendapatnya. Relasi yang timpang ini membentuk pola yang lain.
“Kedua, terkait adanya kecendrungan bahwa aparat penegak hukum mulai dari proses penyidikan dan penuntutan bahkan di persidangan Majelis Hakim kecendrungan tidak bersifat independen karena berhadapan dengan seorang pejabat publik yang berkuasa,” ujarnya.
Ketiga, sambung Nurkholis, pola yang paling konsisten adalah tujuan dari proses persekusi dari yang dilakukan tujuannya adalah untuk membungkam atau mensilent atau membuat bungkam partisipasi publik. Beberapa kasus itu mulai dari partisipasi masyarakat aktivis antikorupsi yang mencoba menuntut transparansi pemerintahan dan mengungkap korupsi, ada juga yang mengkritik mengenai substansi peraturan perundang-undangan, mengkritik lembaga negara, mengkritik institusi dan beberapa hal lain yang semuanya berdasarkan sebuah tindakan yang legitimasi berbangsa dan bernegara.
“Saat ini mungkin saya menjelaskan terkait dengan apa yang dialami secara faktual kasus Haris dan Fatiah yang saat ini didakwa dan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan pelapor Luhur Binsar Pandjaitan. Keduanya didakwa untuk Pasal 14 dan 16 kemudian Pasal 310 ayat (1). Proses di penyidikan, penyidik bekerja kurang lebih setahun dalam memproses laporan dari pihak pelapor dan beberapa hal yang tidak diindahkan oleh penyidik dalam hal ini berkaitan dengan SKB mengenai UU ITE, proses restorative justice, proses mediasi yang dihentikan sepihak oleh penyidik tanpa ada kesepakatan dari para pihak,” ungkapnya.
Sebagai informasi, pemohon menyatakan materiil yang diujikan adalah Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. “Undang-undang tersebut merupakan undang-undang awal sekali kemerdekaan yang kami rasa perlu untuk dilakukan pengujian karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dibangun di awal reformasi. Kemudian Pasal Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara
Pemohon Uji Konstitusionalitas Aturan Sanksi Pencemaran Nama Baik terhadap Pejabat Negara Perbaiki Permohonan
Haris Azhar Sampaikan Harapannya kepada Majelis Hakim Konstitusi
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia danpemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Para Pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. Selain itu, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai dengan putusan pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan Pemohon ini. Selain itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim