JAKARTA, HUMAS MKRI - Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat mengajukan uji Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Perkara Nomor 132/PUU-XXI/2023 ini digelar oleh Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh pada Rabu (18/10/2023).
Pasal 18 ayat (2) UU KIP menyatakan, “Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila : a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.”
Rega yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno MK menyebutkan berpedoman pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), data pribadi dibagi atas data pribadi yang bersifat spesifik dan umum. Data pribadi yang bersifat spesifik di antaranya data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi dan/atau, data lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun pada Pasal 18 ayat (2) UU KIP mengecualikan data pribadi berupa riwayat dan kondisi anggota keluarga hingga hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, inteketualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang, dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan satuan pendidikan formal dan nonformal sebagaimana yang termuat pada Pasal 17 huruf h UU KIP bagi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
Dalam kasus konkret, Pemohon menceritakan tentang kronologis saat mengikuti seleksi penempatan jabatan yang bersifat publik di Bank Indonesia. Namun Pemohon dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi. Kemudian Pemohon meminta daftar nama peserta, hasil evaluasi Pemohon tidak diterima, dan daftar hasil tinjauan kesehatan Pemohon. Akan tetapi pihak penyelenggara ujian menolak dan hanya memberikan catatan kesehatan Pemohon, sehingga Pemohon tidak mendapatkan hak sanggah terhadap informasi yang sejatinya bersifat informasi publik. “Berdasarkan hal ini terdapat multitafsir dari kausal verban dari norma Pasal 18 ayat (2) UU KIP dengan kerugian konstitusional Pemohon karena hasil tes dari ujian yang dimintakan oleh Pemohon dinyatakan dikecualikan sebagai informasi publik,” sampai Rega secara langsung dari Ruang Sidang Pleno MK.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa ‘posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik’ dalam Pasal 18 ayat (2) UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk daftar nama peserta dalam proses seleksi terbuka dalam rangka penempatan posisi jabatan-jabatan publik’,” tandas Rega.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat mengenai kerugian konstitusional yang harus dibangun bersamaan dengan argumentasi yang kuat, utamanya atas keberlakukan norma dengan keterlanggaran hak konstitusional Pemohon. “Sejatinya ini yang dipermasalahkan frasa yang ada untuk posisi seseorang dalam jabatan publik dan ada pemaknaannya secara bersyarat, apakah nanti ini tidak akan mempersempit makna dari norma ini nantinya. Coba lihat kembali agar saat mempersoalkan konstitusionalitas norma atau implementasi norma yang kemudian dapat mengadukan pada pihak-pihak yang terkait. Ini perlu dilihat secara komprehensif, apakah problem individual ini merupakan problem konstitusionalitas norma yang mungkin saja dialami oleh orang lain seperti Pemohon juga,” jelas Enny.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Daniel dalam pokok nasihatnya mengatakan pertentangan norma dengan UUD 1945, sebab pada permohonan ini terkait dengan kasus konkret dan hal-hal yang bersifat pengaduan atas hal yang dialami. Untuk itu, Pemohon dapat mempelajari Putusan MK Nomor 133/PUU-VII/2009 agar dapat memahami provisi yang diajukan pada permohonan ini. Pada kesempatan berikutnya, Hakim Konstitusi Wahiduddin mencermati bagian kasus konkret yang dialami Pemohon. Menurutnya, agar tidak dimaknai erga omnes, Pemohon perlu menjbarkan secara lebih jelas konstitusionalitas norma yang diujikan pada perkara ini.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan kepada Pemohon, pihaknya diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan setelah nasihat-nasihat para hakim konstitusi. Selanjutnya naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 31 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha