JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebagai delegataris dari Presiden, kedudukan dan karakter peraturan menteri pun bersifat delegated legislation. Selain itu, kekuatan mengikat dan validitasnya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Dengan demikian, Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di bidang Perpajakan yang melampaui batasan pengaturan dari Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi peraturan menteri yang tidak dapat dibenarkan. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Jimmy Zeravianus Usfunan selaku ahli yang dihadirkan Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya (para Pemohon) dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Selasa (17/10/2023).
Terhadap permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 ini, Jimmy menyebutkan berpedoman pada teori penjenjangan norma yang digunakan dalam sistem hukum di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), diatur hierarki peraturan perundang-undangan termasuk soal pembentukan peraturan menteri. Pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU P3, sambung Jimmy, peraturan menteri disebutkan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Sehingga, materi muatan peraturan menteri berkaitan dengan penyelenggaraan urusan sesuai dengan fungsi kementerian itu sendiri secara teknis administratif.
“Dengan kata lain, ketentuan Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU HPP masih cenderung membuka ruang penafsiran yang melebar dalam pembentukan peraturan menteri keuangan, seperti yang dirasakan secara faktual oleh warga negara (wajib pajak). Sehingga dalam logika yang wajar, frasa “tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan” dalam Pasal 2 angka 13 Pasal 43A ayat (3) UU HPP, harusnya dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara,” jelas Jimmy di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama tujuh hakim konstitusi lainnya.
Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum
Sementara itu, Mudzakkir selaku ahli dari Universitas Islam Indonesia dalam keterangannya menyebutkan Peraturan Menteri Keuangan hanya dibolehkan mengatur peraturan teknis penggunaan wewenang pemeriksa bukti permulaan untuk menjamin kepastian hukum dan menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sehingga, sambung Mudzakkir, Peraturan Menteri Keuangan tidak mengatur mengenai wewenang pemeriksa bukti permulaan (penyelidik/penyidik) karena pengaturan atau pemberian wewenang tersebut harus diatur dalam bentuk norma hukum dalam Undang-undang. Secara lebih lagi dalam pengaturan wewenang tersebut, terkandung pula unsur pembatasan kemerdekan atau kebebasan bagi terperiksa wajib pajak.
“Oleh sebab itu, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur wewenang pemeriksa bukti permulaan dalam tindak pidana pajak dinyatakan tidak sah dan dinyatakan bertentangan prinsip Negara Hukum Indonesia dan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam norma hukum dasar dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” sebut Mudzakkir.
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (28/08/2023), Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret saat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan sesuai ketentuan Pasal 43A ayat (4) UU HPP, Pemohon harus mengalami upaya paksa seperti penyegelan dan penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukper. Hal ini menurut Pemohon tidak dapat pula digugat melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukper tersebut merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN. Pemohon melihat hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan. Selain itu, pada faktanya terdapat pula putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.