JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian ketentuan ambang batas parlemen untuk perolehan kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (17/10/2023). Perkara Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Pemohon mempersoalkan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Dalam persidangan Fadli Ramadanil selaku kuasa Pemohon mengatakan telah memperbaiki permohonan sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Majelis Hakim pada persidangan. “Fokus pada permintaan untuk menghilangkan pemberlakuan ambang batas yang berlaku secara berjenjang di semua level pemilu legislatif. Sementara dalam permohonan kami ini, yang kami minta bukan meminta menghilangkan ambang batas parlemen atau parlementary threshold, tapi bagaimana merumuskan parlementary threshold ini dengan pendekatan yang memastikan tidak adanya suara pemilih terbuang dalam jumlah yang banyak dan kemudian memastikan perumusan ambang batas parlemen itu dilakukan dengan basis akademik yang jelas dan bisa diverifikasi Yang Mulia,” jelas Fadli.
Fadli juga mengatakan pihaknya melakukan fokus kajian untuk bagaimana ambang batas parlemen ini dirumuskan dengan formula yang betul-betul terbuka transparan agar berkesesuaian dengan asas pemilu yang jujur dan adil diatur dalam Pasal 22E. “Makanya kami menghasilkan satu kajian pada tahun 2015 itu kodefikasi pemilu sebagai usulan dari masyarakat sipil untuk mendorong penyusunan kerangka hukum pemilu yang kemudian menjadi undang-undang ini,” katanya.
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi. Menurut Pemohon, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan ketika pemilu di Indonesia menegaskan bahwa sistem pemilu legislatifnya menggunakan sistem proporsional, tetapi hasil pemilunya menunjukkan hasil yang tidak proporsional, karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen, artinya ada persoalan mendasar yang mesti dituntaskan di dalam sistem pemilu proporsional di Indonesia. Persoalan tersebut tentu saja berkaitan langsung dengan daulat rakyat sebagai fondasi utama dari penyelenggaraan pemilu, serta pemenuhan asas pemilu yang jujur dan adil di dalam Pasal 22E ayat (1), dan tentang adanya kepastian hukum di dalam sebuah regulasi penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan tentu saja berkaitan pula dengan prinsip negara hukum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Menurut Pemohon, salah satu yang menentukan hasil pemilu menjadi proporsional atau tidak adalah ketentuan ambang batas parlemen yang notabene adalah salah satu variabel dari sistem pemilu. Oleh karena itu, Pemohon dalam provisinya, meminta MK menjadikan Perkara Pengujian Pasal 411 ayat (1) UU yang diajukan oleh Pemohon sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diperiksa di Mahkamah Konstitusi, agar pemberlakuan ambang batas parlemen yang sudah menggunakan penghitungan matematis yang rasional, dapat diberlakukan untuk hasil Pemilu 2024, dengan tetap memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk melakukan pembuktian secara maksimal.
Sedangkan dalam pokok perkara, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditetapkan berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional”.
Selain itu, meminta MK agar memerintahkan kepada Presiden dan DPR sebagai Pembentuk Undang-Undang untuk segera melakukan perbaikan terhadap ketentuan ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold) di dalam UU Pemilu, dengan merumuskan besaran angka ambang batas parlemen berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha