JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pada Senin (16/10/2023).
Dalam sidang perbaikan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, La Ode Surya Alirman selaku kuasa pemohon menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukannya. “Pertama pada halaman terkait penjelasan atas Pasal 16 UU Advokat dimana yang dimaksud dengan itikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadalan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya yang dimaksud dengan sidang pengadilan adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat peradilan di semua lingkup peradilan,” ujarnya.
Kemudian, sambung Laode, Pasal 1 angka 6 UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP menyatakan jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
“Pada intinya perbaikan permohonan telah mengikuti arahan dan petunjuk Majelis pada sidang yang lalu. Terkait Pasal 16 yang telah ada perubahan pada putusan 2013 dan mengenai tambahan teori penuntutan. Perubahan petitum pada halaman 33 dipoin 2 dan 4,” terang Ali Amsar Lubis, kuasa hukum Pemohon lainnya.
Sebelumnya Alvin Lim, seorang advokat, menguji Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana terhadap Perkara Nomor 113/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Selasa (3/10/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Pemohon menguji Penjelasan Pasal 16 UU Advokat. Pemohon mendalilkan dalam melakukan tugasnya, advokat tentunya berpotensi berbenturan dengan Kepolisian maupun Kejaksaan. Namun atas tugas yang dibebankan oleh Pemohon, pemohon ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian dengan laporan polisi dengan Nomor LP/B/0536/IX/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI tertanggal 19 September 2022 terkait dugaan pencemaran nama baik dan/atau fitnah dan/atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan/atau menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap berdasarkan Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP
Pemohon telah menjalani profesi dengan itikad baik dalam membela, mendampingi dan memberikan bantuan hukum di luar pengadilan, dalam hal ini konteksnya adalah Pemohon menyampaikan fakta melalui media. Fakta tersebut telah menimpa pada klien Pemohon. Akan tetapi, pada kenyataannya berdasarkan laporan tersebut, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka itu menimbulkan beberapa hal yakni telah mencoreng kehormatan profesi advokat. Kemudian, telah merenggut hak imunitas yang dimiliki pemohon sebagai advokat. Lalu mengakibatkan Pemohon mengalami ketidakpastian hukum terhadap mekanisme hak imunitas yang melindungi advokat dalam menjalankan profesinya dimana advokat tetap dapat dituntut secara pidana saat menjalankan profesinya.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata dan/atau tidak dapat diproses hukum pidana pada tahap penyidikan dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.