JAKARTA, HUMAS MKRI - Asep Muhidin (Pemohon I), Rahadian Pratama Mahpudin (Pemohon II), dan Asep Ahmad (Pemohon III) mengajukan uji materiil Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 253 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pasal 50 ayat (1) UU MA menyatakan, “Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi.”
Pasal 253 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka dengan cara pemanggilan yang sama.”
Pada persidangan yang dihadiri oleh ketiga Pemohon ini disebutkan bahwa Pemohon I berprofesi sebagai advokat, Pemohon II berprofesi sebagai asisten dosen di Sekolah Tinggi Hukum Garut, dan Pemohon III berprofesi sebagai wartawan yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam memperjuangkan keadilan apabila dianggap perlu, sebut A. Muhidin, pihaknya tentu akan mengajukan permohonan Kasasi kepada MA atas putusan sebelumnya yang dianggap kurang adil. Namun pada kenyataan di lapangan, para Pemohon mendapati, MA baik untuk pemohonan kasasi atau peninjauan kembali tidak pernah ditemukan adanya permintaan keterangan dan penjelasan oleh hakim agung yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan. Bahkan tidak pernah ada putusan yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana termuat dalam Pasal 40 ayat (2) UU MA beserta Penjelasannya.
“Hal ini berpotensi memerikan putusan dengan pertimbangan yang tidak koheren, utuh, berpotensi kuat terjadi celah pembenaran untuk kepentingan tertentu yang seharusnya memerikan putusan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa justru akan berubah makna menjadi keputusan berdasarkan kepentingan,” sebut A. Muhidin di hadapan Sidang Majelis Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah sebagai anggota.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Para Pemohon. Meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (1) UU MA, Pasal253 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan Asas Kepastian Hukum. “Menyatakan frase ‘... hanya jika dipandang perlu ...’ dalam Pasal 50 ayat (1) UU MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai ‘wajib’ sehingga bunyi Pasal 50 ayat (1) menjadi “Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan ‘wajib’ Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau saksi,” tandasnya membacakan Perkara Nomor 112/PUU-XXI/2023.
Perbandingan Negara Lain
Terhadap dalil para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Daniel mencermati identitas Pemohon II dan III dengan profesi masing-masing yang diharapkan dapat menyertakan bukti identitas diri. Selanjutnya terkait dengan alasan permohonan ini, diharapkan ada perbandingan dengan negara-negara yang memiliki MA atau MK yang memiliki kewenangan dalam pemanggilan saat tingkat kasasi.
Sementara Hakim Konstitusi Guntur menyoroti tentang dua undang-undang yang diujikan para Pemohon agar memperkuat bangun argumentasi dengan kerugian konstitusional atas profesi yang berbeda-beda atas keberlakukan norma yang diujikan. “Harap hati-hati mendalilkan sebuah ketentuan norma undang-undang terkait dengan adanya pelaanggaran undang-undang yang disebutkan. Hati-hati dalam menuangkan diksi, sebab kalau memang ada pelanggaran, maka wadahnya bukan ke MK tetapi ada aturan dan bagiannya,” sampai Guntur.
Berikut Hakim Konstitusi Manahan memberikan nasihat mengenai perbedaan antara judex factie dan judex jurist, sebab MA hanya memeriksa hal yang bersifat judex jurist. “Jangan samakan semua, antara keberadaan cara pemeriksaannya. Sebagai advokat, dosen, dan wartawan di mana kerugiannya yang terhalang oleh keberadaan narasi hukum ini,” sampai Manahan.
Pada akhir persidangan, Manahan menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Untuk kemudian dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 23 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina