JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengaturan pada norma Pasal 43A ayat (4) Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ditujukan untuk pembatasan wewenang terhadap petugas pajak yang diberikan surat perintah saat melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Sementara PMK 177/PMK.03/2022 dilahirkan untuk mengatur tata kelola dan prosedur pemeriksaan bukti permulaan serta dalam rangka mewujudkan asas-asas umum pemerintah yang baik.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej selaku perwakilan Presiden/Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Selasa (3/10/2023) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya ini, Presiden/Pemerintah menyatakan mekanisme kontrol dalam proses pemeriksaan bukti permulaan akan muncul ketika wajib pajak memberikan persetujuan atau penolakan terhadap kegiatan pemeriksaan bukti permulaan. Berbeda dengan kewenangan penyitaan yang dimiliki oleh penyidik pada tahap penyidikan, pada tahapan pemeriksaan bukti permulaan hanya dapat dipinjam berupa data dan dokumen wajib pajak yang dibutuhkan untuk menentukan bukti permulaan ada atau tidaknya peristiwa pidana.
Lebih lanjut Edward Omar Sharif Hiariej yang akrab disapa Eddy Hiariej ini menyebutkan secara filosifis, adanya pemeriksaan bukti permulaan dalam UU HPP merupakan penerapan dari sunrise principle. Artinya, apabila ada dugaan tindak pidana, maka pemeriksaan bukti permulaan yang menjadi wewenang dari Direktorat Jenderal Pajak, dapat melakukan pencarian dan pengumpulan bukti guna menjustifikasi ada atau tidaknya suatu tindak pidana. Jika ditemukan, maka proses selanjutnya akan ditingkatkan ke tahap penyidikan. Hal ini ditujukan guna mencegah kerugian lebih lanjut pada keuangan negara.
“Sebaliknya, apabila berdasarkan pemeriksaan bukti permulaan tidak ditemukan cukup bukti, maka pemeriksaan perkara harus segera dihentikan. Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (2) PMK-177/PMK.03/2022. Adapun penghentian perkara setelah pemeriksaan bukti permulaan merupakan wujud dari sunset principle yang bertujuan melindungi hak asasi manusia,” kata Eddy Hiariej di hadapan Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan tujuh hakim konstitusi lainnya.
Bukan Ranah Pro Justitia
Sementara itu terkait dengan keterkaitan dalam proses peradilan pidana secara umum, Eddy Hiariej menjelaskan bahwa pemeriksaan bukti permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan. Yakni serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak dapat dilakukannya penyidikan. Artinya, tidak ada upaya paksa sebagaimana dalam ranah Pro Justitia karena belum ada justifikasi atas tindak pidana yang terjadi. Sebagai konsekuensi logis dari pemeriksaan bukti permulaan yang setara dengan penyelidikan, sehingga tidak dapat dilakukan praperadilan.
“Sehingga peminjaman bahan bukti dalam pemeriksaan bukti permulaan sangatlah berbeda dengan penggeledahan dan penyitaan dalam penyidikan sebagaimana dimaksudkan dalam KUHAP. Tidak adanya penggeledahan dan penyitaan dalam proses tersebut karena dipersamakan dengan tahap penyelidikan dan sudah dibuktikan dalam beberapa perkara praperadilan. Perlu ditegaskan lagi bahwa tindakan pemeriksaan bukti permulaan adalah amanat peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang belum memasuki tahap penyidikan dan tidak terdapat upaya paksa sebagaimana dalam ranah Pro Justitia,” tandas Eddy Hiariej.
Baca juga:
Wajib Pajak Pertanyakan Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan
Badan Hukum Turut Serta Jadi Pemohon Uji Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Pajak
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya. Para Pemohon mengujikan Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sepanjang frasa “...pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan”, dan Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP sepanjang frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (1) UU HPP menyatakan, “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (4) UU HPP menyatakan, “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (28/8/2023), Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret saat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan sesuai ketentuan Pasal 43A ayat (4) UU HPP, Pemohon harus mengalami upaya paksa seperti penyegelan dan penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukper. Hal ini menurut Pemohon tidak dapat pula digugat melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukper tersebut merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN.
Pemohon melihat hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan. Selain itu, pada faktanya terdapat pula putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan” dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap tindakan-tindakan dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegintan wusaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
d. melakukan Penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak;
dapat diajukan upaya hukum Praperadilan ke Pengadilan Negeri”.
Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan” dalam Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.