JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (20/9/2023). Sidang perkara Nomor 94/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Muhammad Hafidz ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Pasal 82 dan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI.
Dalam persidangan yang digelar secara luring dan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul tersebut, Hafidz yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menyampaikan perbaikan permohonan berdasarkan nasihat-nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya. Hafidz menjelaskan jumlah halaman permohonan bertambah. Semula berjumlah 16 halaman, sekarang menjadi 27 halaman. Bertambahnya jumlah halaman karena adanya sejumlah perubahan pada bagian kedudukan hukum dan alasan permohonan.
“Jadi, untuk kewenangan MK dan petitum, tidak ada perubahan... Pada bagian kedudukan hukum, Pemohon telah melakukan penyempurnaan narasi pada angka empat dan menambahkan uraian bahwa permohonan Pemohon tidak terhalang dengan asas ne bis in idem,” jelas Hafidz.
Hafidz menegaskan, penyempurnaan narasi merupakan bagian dari memperkuat argumentasi kedudukan hukum. Kemudian pada bagian alasan permohonan, Pemohon memberikan pointer huruf.
“Dalam permohonan awal, pake kotak, Pemohon ubah menggunakan pointer huruf sebagai sub-bab yaitu ada dua, ada sub-bab a dan sub-bab b,” terang Hafidz.
Baca juga:
Karyawan Swasta Persoalkan Biaya Perkara Gugatan PHI
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 94/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz. Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 82 dan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI.
Selengkapnya Pasal 82 UU PPHI menyatakan, “Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”.
Kemudian Pasal 97 UU PPHI menyatakan, “Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Rabu (6/9/2023), Pemohon menerangkan bahwa pengaturan masa daluarsa satu tahun atas gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana diatur dalam pasal 82 UU PPHI adalah untuk alasan PHK yang dimaksud pada Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Pemohon yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian konstitusionalnya. “Sebagai pekerja yang masih aktif bekerja di perusahaan swasta dirugikan oleh berlakunya muatan materi dalam Pasal 82 dan Pasal 97 UU Nomor 2 Tahun 2004” ujar Hafidz.
Menurut Pemohon, kerugian konstitusional tersebut memungkinkan terjadi pada Pemohon sebagai pekerja swasta yang dapat mengalami PHK dengan alasan-alasan dimaksud dalam pasal 82 UU PPHI. Pemohon juga berpotensi akan dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal 97 UU PPHI berupa kepastian hukum untuk mendapatkan pengembalian panjar biaya perkara dengan masa kerja Pemohon kurang lebih hampir 9 (sembilan) tahun dengan upah sebesar Rp25.403.800,00 (dua puluh lima juta empat ratus tiga ribu delapan ratus rupiah) perbulan. Sehingga, apabila Pemohon memperhitungkan uang kompensasi PHK dengan masa kerja dan besaran upah tersebut, maka Pemohon berhak mendapatkan uang pesangon, beserta uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah).
Biaya Perkara PHI
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 58 UU PPHI menyebutkan, proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial tidak dikenakan biaya yang nilai gugatannya di bawah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Apabila Pemohon hendak mengajukan gugatan perselisihnan PHKJ ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan nilai gugatan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebesar Rp330.249.400,00 (tiga ratus tiga puluh juta dua ratus empat puluh sembilan ribu empat ratus rupiah), maka Pemohon akan dikenakan biaya perkara yang besarannya telah ditetapkan oleh Pengadilan sebagai panjar biaya perkara.
Setelah Pemohon membayar panjar biaya perkara, kemudian terhadap gugatan Pemohon lalu oleh Pengadilan Hubungan Industrial dijatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan Pemohon dan menetapkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak Pemohon, sehingga pengusaha berada pada pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara karena nilai gugatannya di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkekuatan hukum tetap dan pengusaha bersedia secara sukarela melaksanakannya, akan tetapi yang dilaksanakan hanyalah membayar hak-hak Pemohon berupa uang kompensasi PHK. Padahal, pengusaha sebagai pihak yang kalah juga dihukum untuk membayar biaya perkara, namun pengusaha tidak bersedia membayar atau mengganti biaya perkara yang pada saat gugatan diajukan telah dibayar oleh Pemohon sebagai Penggugat dalam bentuk panjar biaya perkara.
Dengan demikian, apabila Pemohon menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial dan membayar panjar biaya perkara, kemudian gugatan tersebut dikabulkan, maka Pemohon yang kedudukannya sebagai Penggugat akan kehilangan panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat gugatan didaftarkan akibat kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial tidak menyebutkan pihak yang menerima pembayaran biaya perkara dimaksud.
Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa “putusan Pengadilan Hubungan Industrial” pada Pasal 97 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai, putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih
dahulu.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Editor: Tiara Agustina.