JAKARTA, HUMAS MKRI - Aturan batas usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika perkara-perkara sebelumnya menguji batas minimal usia capres dan cawapres, maka Gulfino Guevarrato yang berprofesi sebagai advokat, justru menguji batas usia maksimal yang tidak diatur dalam UU Pemilu.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (18/9/2023), Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo menggelar sidang untuk dua perkara. Perkara tersebut, yakni Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tiga perorangan bernama Rio Saputro, Wiwit Ariyanto, dan Rahayu Fatika Sari serta Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gulfino Guevarrato. Jika Pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 169 huruf d dan huruf q, maka Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf n dan huruf q.
Pasal 169 huruf d, huruf n, dan huruf q UU Pemilu menyatakan;
“Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
n. belum pernah menjabat sebagai presid.en atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Dalam sidang tersebut, Anang Suindro yang merupakan kuasa hukum Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menyampaikan negara Indonesia harus dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penculikan aktivis, menghilangkan nyawa secara paksa dan tindakan-tindakan yang kontradiktif terhadap demokrasi dan/atau anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.
“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum Pasal 169 telah mengatur persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dengan menyebutkan tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya,” terangnya.
Anang menegaskan, dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu pada klausul “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya” menimbulkan kekaburan norma (voge norm) sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada pasal tersebut.
“Sebagai bentuk pencegahan dan antisipasi maka haruslah diatur dan ditetapkan pada syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada Pasal 169 huruf d yang berbunyi ‘tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya’ haruslah juga dimaknai sebagai ‘tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti-demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya,” jelas Anang.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK Menyatakan Pasal 169 huruf d UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah menghianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.” Serta meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) Tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) Tahun pada proses pemilihan”.
Batas Usia Maksimal
Sementara itu, Donny Tri Istiqomah selaku kuasa Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 meminta bahwa batas usia calon presiden dan calon wakil presiden merujuk kepada batas usia produktif, yaitu 21 sebagai usia terendah dan 65 sebagai usia tertinggi. Beranjak ke norma Pasal 169 huruf d UU Pemilu yang dipersoalkan dalam Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, para Pemohon menyampaikan bahwa ketentuan a quo menimbulkan kekaburan norma yang menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada keseluruhan pasal.
Para Pemohon kemudian meminta MK menyatakan pasal a quo inkonstitusional apabila tidak dimaknai tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi serta tindak pidana berat lainnya.
Terakhir, terkait Pasal 169 huruf n UU Pemilu, Pemohon melihat perlunya aturan yang membatasi pencalonan presiden dan wakil presiden. Menurut Pemohon, penting bagi setiap calon untuk memiliki etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonannya sehingga apabila ia tidak terpilih setelah mencalonkan diri sebanyak dua kali, ia tidak lagi mencalonkan diri pada pemilu selanjutnya. Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pasal a quo inkonstitusional apabila tidak dimaknai belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dan belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan terkait dengan permohon khususnya keududkan hukum terutama soal perseorangan perlu diperkuat kerugian konstitusionalnya.
“Kalau kerugian konstitusional tidak ada tidak akan masuk pada pokok permohonan. Itu supaya diperhatikan,” ujar Daniel yang juga meminta agar batu uji permohonan diperhatikan.
Sementara M. Guntur Hamzah mengatakan kedua permohonan sudah cukup bagus. “Khusus pemohon 102 tolong diperbaiki sedikit karena belum sesuai betul dengan PMK 2/2021. Sebetulnya cukup empat bab saja tetapi 102 tidak seperti itu. Saya melihat yang sudah betul mengikuti adalah perkara 104. Sehingga kita ingin permohonannya sama,” imbuh Guntur.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para pemohon untuk memperkuat posita terkait dengan argumentasi. “Positanya diperkuat kembali argumen-argumennya dalam mengelaborasi itu,” pinta Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menyebut para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas penyerahan perbaikan permohonan adalah Senin, 2 Oktober 2023. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha