JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan penyidikan Kejaksaan sama sekali tidak bertentangan dengan praktik-praktik umum di dunia internasional. Sebagai perbandingan, kewenangan Kejaksaan atau jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dilakukan di Amerika Serikat, dimana kejaksaan berwenang melakukan penyidikan maupun penuntutan. Bahkan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Begitu pula di Jepang, Jerman, dan negara-negara lain. Bahkan menurut KUHAP Romania dan RRC, penyidikan delik korupsi khusus menjadi wewenang jaksa.
Demikian keterangan yang disampaikan Guru Besar Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji, selaku Ahli yang dihadirkan Kejaksaan Agung (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan atas pengujian materiil tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang kesebelas dari Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh M. Yasin Djamaludi ini digelar pada Senin (18/9/2023) di Ruang Sidang Pleno.
Perkembangan Kebutuhan Hukum
Suparji juga menyebutkan adanya ketentuan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 membawa konsekuensi untuk dilakukannya pemisahan dan pembatasan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara. Berkaitan dengan pengaturan fungsi kejaksaan ini, sampai Suparji, di antaranya terdapat pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 38 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan terkait dengan bidang pidana diatur pula dalam Pasal 30 ayat (1) UU 16/2004 atau UU 11/2021, yakni melakukan penuntutan dan penyidikan atas tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Suparji mengatakan adanya perkembangan kebutuhan hukum berakibat pula pada pergeseran prinsip diferensiasi fungsional dalam KUHAP. Sehingga tidak terdapat lagi pengkotak-kotakan fungsi, melainkan dikonstruksikan sebagai suatu sistem terintegrasi atau sistem peradilan pidana terpadu.
“Perspektif yang menginginkan adanya pemisahan kewenangan dan fungsi koordinasi yang terpisah antara kewenangan penyidikan dan penuntutan adalah suatu kekeliruan, oleh karena penyidikan merupakan bagian dari proses penuntutan, sebagaimana dipraktikkan secara umum di dunia internasional termasuk konsep Integrated Criminal Justice System, semakin ditegaskan dalam penegakan kewenangan penyidikan, dan penuntutan di Komisi Pemberantasan Korupsi yang dalam Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK” sampai Suparji.
Kemudian Suparji juga menyatakan dalam perspektif kriminologi, suatu kejahatan dapat tergolong sebagai kejahatan luar biasa apabila, pertama, kejahatan dampak viktimasinya sangat luas dan multidimensi. Kedua, kejahatan itu transnasional, terorganisasi, dan didukung dengan teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika. Ketiga, merupakan predicate crime, pidana pencucian uang. Keempat, memerlukan pengaturan hukum acara pidana khusus. Kelima, memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan khusus. Keenam, kejahatan itu dilandasi konvensi internasional yang merupakan treaty based crime. Ketujuh, kejahatan tersebut merupakan sangat jahat dan tercela, dan sangat dikutuk oleh masyarakat, baik nasional maupun internasional.
“Dari tujuh kualifikasi kejahatan luar biasa tersebut di atas, maka dalam perspektif kriminologi, tindak pidana korupsi dapat dikualifikasi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga terdapat urgensi bagi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,” papar Suparji.
Suparji menegaskan, tidak terdapat permasalahan konstitusional dari kewenangan penyidikan bagi lembaga Kejaksaan. “Diharapkan pelembagaan tersebut dapat terus dikuatkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan hukum masyarakat,” pungkas Suparji.
Penanggulangan Korupsi Butuh Cara Luar Biasa
Pada kesempatan yang sama, Kejaksaan Agung juga menghadirkan ahli Muhammad Fauzan, pakar hukum Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Fauzan mengatakan, sekalipun tidak disebutkan dalam UUD 1945, bukan berarti keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman hanya pelengkap. Sebab lembaga ini telah ada pada setiap sistem ketatanegaraan Indonesia, meski eksistensinya hanya diatur dalam produk hukum di bawah UUD 1945, mulai dari sejak kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan hingga masa reformasi. Praktik yang terjadi dan pengalaman historis yuridis ketatanegaraan RI menunjukkan bahwa lembaga Kejaksaan memiliki memiliki tugas pokok dan fungsi yang selalu berhubungan dengan kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang penuntutan dan penyidikan.
“Beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku, baik masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, yaitu awal Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru, maupun setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamendemen atau Orde Reformasi menunjukkan bahwa Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan,” kata Fauzan.
Hal tersebut antara lain dapat dilihat di beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, Undang-Undang 15 Tahun 1961, Undang-Undang 11/PNPS Tahun 1963, kemudian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sementara kalau kita melihat kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan juga dapat dilihat dari undang-undang yang mengatur tentang lembaga Kejaksaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang yang pernah berlaku dan sedang berlaku, yaitu Undang-Undang 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang kemudian dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang 16 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Ahli menyimpulkan bahwa institusi Kejaksaan disamping memiliki kewenangan pentuntutan dan melakukan putusan hakim, juga diberikan kewenangan lain atas kuasa undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kewenangan untuk melakukan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan sebenarnya merupakan kebijakan hukum, atau legal policy, atau politik hukum yang diambil oleh pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Presiden,” kata Fauzan.
Menurut Fauzan, Kejaksaan RI merupakan organ negara yang atas kuasa peraturan perundang-undangan diberi kewenangan, bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan tunggal atas penuntutan dominus litis dalam perkara tindak pidana, tetapi juga diberikan kewenangan lain untuk melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
“Kewenangan melakukan penyidikan atas sebuah tindak pidana, termasuk di dalamnya tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi, bukan merupakan monopoli satu penegak hukum saja. Terlebih, jika dilihat kondisi negara yang tingkat korupsinya lumayan tinggi, maka upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi diperlukan cara-cara yang luar biasa. Yang penting, antara penegak hukum yang atas kuasa undang-undang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, tetap berlomba-lomba untuk bersama-sama menanggulangi dan mencegah terjadinya korupsi di negara kita dengan tetap melakukan koordinasi yang baik, sehingga kekhawatiran terjadinya tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan penyidikan dapat dieliminir,” jelas Fauzan.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Penyidik Polri, Kejaksaan, dan KPK Bersinergi dalam Pemberantasan Korupsi
Tumpang Tindih Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Pandangan Ahli DPR dan Presiden Ihwal Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Tipikor
PJI Hadirkan Ahli Ihwal Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin (Pemohon). Pemohon melakukan uji materiil terhadap tiga undang-undang sekaligus, yaitu Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Intinya, Pemohon mempersoalkan kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu.
Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mendalilkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.